Nakita.id - Sekolah tatap muka batal digelar karena kasus covid-19 yang meningkat belakangan ini.
Artinya anak akan semakin lama berdiam diri di dalam rumah.
Dan tahu tidak Moms bahwa di tengah pandemi ini, kesehatan anak yang harus diperhatikan bukanlah sekadar fisiknya saja.
Kesehatan mental anak juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan.
Seorang dokter spesialis kejiwaan dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K) mengakui bahwa di tempat praktiknya selama 15 bulan terakhir banyak anak-anak yang melukai dirinya sendiri atau self harm.
Tak hanya itu, dr. Anggia juga menyebutkan bahwa di praktiknya juga banyak anak-anak yang berpikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Tentu saja hal ini merupakan hal yang berbahaya, sehingga penting untuk orangtua memerhatikan kesehatan mental anak dengan mengetahui gejala kesehatan mental.
Dalam webinar yang diadakan oleh Rumah Sakit Pondok Indah, dr. Anggia menyebutkan bahwa gejala kesehatan mental ada bermacam-macam.
Gejala kesehatan mental yang perlu Moms waspadai yaitu kesulitan tidur dan makan, mimpi buruk, agresif, keluhan fisik tanpa penyebab yang jelas, ketakutan ditinggal sendiri, serta selalu ingin berada di dekat orangtua atau bergantung.
Selain itu, timbul ketakutan baru misalnya mendadak takut dengan kegelapan juga menjadi gejala kesehatan mental.
Kalau anak mulai kehilangan minatnya dalam bermain atau hobi serta menangis lebih sering daripada biasanya tanpa alasan juga bisa menjadi gejala kesehatan mental.
Moms juga perlu tahu bahwa terlalu lama sekolah secara daring juga bisa menimbulkan cemas sekolah pada anak, seperti takut sendirian yang artinya ia khawatir tidak punya teman nantinya.
Kemudian anak juga jadi sulit tidur, bereaksi dengan cepat, khwatir tentang sekolah, mengeluh sakit perut, menghindari pekerjaan sekolah, frustasi berlebihan, hingga sulit fokus saat sekolah.
Dengan begitu ada perilaku anak yang harus orangtua waspadai seperti sangat ketakutan, sangat agresif, sulit bergabung dengan orang lain, tidak mengerti perbedaan khayalan dan kenyataan, tidak mengungkapkan banyak emosi, serta sulit tidur, makan, hingga ke toilet.
Dengan begitu, ada tips digital parenting yang dibagikan oleh seorang clinical psychologis & hypnotherapist Meriyati, M.Psi., Psikologi.
1. Buat jadwal
Meriyati menjelaskan bahwa Moms perlu memberikan jadwal serta batasan penggunaan gadget pada anak.
Meriyati mengacu pada Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan WHO bahwa untuk anak usia 0-2 tahun tidak boleh terpapar gadget kecuali untuk panggilan telepon dengan keluarga.
Kemudian anak usia 3-5 tahun cukup 1 jam per hari, 5-7 tahun cukup 1,5 jam sehari, dan usia di atas 10 tahun 2 jam sehari dengan diberi jeda setiap 30 menit penggunaan.
2. Lakukan rutinitas yang sudah ada sebelum covid
Baca Juga: Moms Bisa Bantu Si Kecil Kelola Stres Akibat Sekolah dari Rumah dengan Cara Ini
Moms tidak boleh membuat rutinitas yang sudah diterapkan sebelum adanya covid-19 jadi berubah.
Kalau sebelum covid-19 anak memiliki rutinitas bangun dan langsung mandi sebelum sekolah, maka terapkan rutinitas yang sama meskipun sedang sekolah daring.
Hal ini bertujuan agar anak siap ketika kembali pada aktivitas tatap muka seperti sebelumnya.
3. Berikan tempat belajar yang fokus
Orangtua harus memastikan bahwa tempat belajar anak cukup membuat Si Kecil fokus.
Jangan biarkan anak belajar di meja makan kemudian anggota keluarga yang lain lalu-lalang makan di sampingnya.
Atau belajar di ruang tamu, kemudian anggota keluarganya menonton atau main PS di tempat yang sama.
Orangtua juga harus perhatikan agar anak tetap bisa menghargai gurunya meski belajar secara daring, sehingga pastikan anak tidak diam-diam bermain ponsel di bawah meja atau mengerjakan aktivitas lain saat sekolah daring.
4. Buat peraturan
Meriyati menyarankan orangtua untuk membuat aturan kapan dan dimana gadget boleh serta tidak boleh digunakan.
Contohnya gadget tidak boleh digunakan saat waktu tidur atau di meja makan.
Anak dan orangtua harus mematuhinya, jangan jadikan pekerjaan Moms sebagai alasan bisa lolos dari aturan tersebut.
5. Pahami emosi
Di tengah kondisi pandemi ini wajar kalau anak merasa jenuh, marah, atau kecewa selama di rumah.
"Dengarkan itu karena setiap emosi itu adalah valid tidak ada emosi yang salah," jelas Meriyati.
Meriyati menyebutkan bahwa setiap emosi butuh diekspersikan agar pulih sehingga orangtua tidak boleh menyangkalnya.
GIV Gelar Kompetisi 'The Beauty of GIVing' Guna Dukung Perjalanan Inspiratif Womenpreneur Indonesia
Penulis | : | Gabriela Stefani |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR