Nakita.id - Hari Tanpa Kekerasan Internasional diperingati setiap tanggal 3 Oktober.
Rupanya, terdapat alasan mengapa hari bersejarah itu terus diperingati.
Melansir dari National Today, salah satunya ialah untuk meningkatkan kesadaran mengenai anti kekerasan.
Peringatan Hari Anti Kekerasan Internasional juga erat kaitannya dengan anak-anak.
Sayangnya, kasus kekerasan pada anak masih saja kerap terjadi dilakukan para orangtua.
Mengutip dari Kompas.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah mencatat kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya melalui sistem informasi online (Simfoni-PPPA).
Tercatat per Jumat (23/7/2021), terdapat 5.463 kasus kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak Kemen PPPA, kasus kekerasan pada anak sebagian besar terjadi di lingkup rumah.
Memperingati hari kekerasan internasional sering kali banyak hal yang sepenuhnya belum disadari para orangtua bahwa dalam mengasuh anak juga bisa memicu tindak kekerasan.
Ketika mengasuh anak, Moms dan Dads tanpa sadar terpancing emosi saat anak melakukan kesalahan, sehingga sering kali melakukan tindakan yang sewenang-wenang pada Si Kecil.
Di Indonesia sendiri, tindakan kekerasan terhadap anak telah diatur di dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU Noor 23 Tahun 2002.
Ketidaktahuan para orangtua mengenai tindakan pengasuhan yang mengandung kekerasan membuat kasus kekerasan pada anak semakin meningkat.
Baca Juga: Banyak Anak yang Mendapat Kekerasan Selama Proses PJJ, Begini Cara Kementerian PPPA Mengatasinya
Tindakan kekerasan kepada anak termasuk pelanggaran hukum yang telah ditetapkan hukumannya.
Melansir Kompas.com, Ika Yuniar Cahyanti, Dosen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, mengatakan bahwa kekerasan pada anak yang dilakukan secara terus menerus berdampak buruk bagi tumbuh kembangnya kelak.
Bahkan, rasa trauma anak akan timbul masih dapat dirasakan hingga ia tumbuh dewasa.
"Dampak psikologis kekerasan terhadap anak antara lain penarikan diri, ketakutan, tindak agresif, emosi yang labil, depresi, cemas, merasa minder, merasa tidak berharga, dan lain sebagainya," ujar Ika dikutip dari laman Kompas.com.
Ika juga menambahkan jika kekerasan yang dilakukan para orangtua ke anak mereka dapat menyebabkan gangguan stres.
Keadaan buruk tersebut bahkan bisa memengaruhi anak untuk terlibat dalam penggunaan zat adiktif seperti narkoba.
Guna menghindari tindakan kekerasan pada anak, banyak hal yang bisa orangtua terapkan ke dalam pola asuh mereka.
Moms dan Dads bisa mulai mengikuti pola positive parenting dalam mendidik Si Kecil.
Menurut Ika, cara seperti ini bisa memengaruhi ikatan antara orangtua dan anak, sehingga tindak kekerasan bisa diantisipasi.
"Positive parenting atau pengasuhan positif adalah pola asuh yang dilakukan secara suportif, konstruktif, dan menyenangkan," jelas Ika.
Untuk mengurangi angka kekerasan terhadap anak, sudah seharusnya para orangtua memperlakukan anak sebaik mungkin dan menjadi contoh.
Orangtua juga perlu memberikan arahan yang baik, sehingga anak bisa meniru apa yang telah orangtua mereka lakukan.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Source | : | Kompas.com,Nationaltoday.com |
Penulis | : | Ruby Rachmadina |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR