"Kita enggak tahu kalau kita mengalami gejala itu, begitupun dengan orang terdekat juga enggak tahu," katanya.
Lebih lanjut, ia memaparkan, karena minimnya literasi banyak yang menyalahartikan masalah kesehatan mental sebagai gangguan jiwa.
"Masalah kesehatan mental bukan gangguan jiwa, cuma kalau yang sudah depresi sekali itu kemungkinan sudah gangguan jiwa," ujarnya.
Selain itu, Rohika menyebutkan alasan lainnya mengapa kesehatan mental masih sering diabaikan.
Adanya kesenjangan ekonomi menimbulkan beberapa pandangan bahwa, ibu yang mengalami masalah kesehatan mental berasal dari keluarga menengah kebawah.
"Tidak hanya dari sisi kesehatan, tapi ada juga hal-hal lainnya yang mempengaruhi hal ini, misalnya penghasilan yang buruk," kata Rohika.
Kemiskinan disebut-sebut menjadi akar penyebab terganggunya kesehatan mental seorang ibu.
Rohika menegaskan bahwa anggapan tersebut belum tentu benar demikian.
"Orang yang rendah pendapatannya pasti kesehatan mentalnya memburuk, tapi ternyata tidak," katanya.
"Ada juga orang yang yang bagus ekonominya ternyata kesehatan mentalnya yang terganggu," sambungnya.
Pola asuh keluarga yang berpenghasilan tinggi dan keluarga yang berpenghasilan rendah
"Artinya, pengasuhan yang baik yang sehat Itu sebenarnya tidak hanya ada di orang kaya saja," katanya.
Rohika kemudian menyoroti fenomena yang terjadi di masyarakat dimana lulusan terbaik universitas ternama justru berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
"Misalnya, 5 terbaik cumlaude UGM itu, ternyata adalah anak dari tukang becak lo!," katanya.
"Artinya, konsep pengasuhannya bagus dan keluarganya pun punya kesehatan mental yang bagus," tutupnya.
Penulis | : | Kintan Nabila |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR