Tabloid-Nakita.com.- Ada beberapa kebiasaan orangtua yang terkesan sepele, tetapi ternyata berdampak tak baik bagi kesehatan anak. Apa saja? Ini dia!
* Memberi makanan padat terlalu cepat.
Kebiasaan memberikan makanan padat terlalu cepat bagi bayi berusia di bawah 6 bulan merupakan kebiasaan yang sudah lama ada dan tersebar di mana-mana. Tak jarang hal ini malah sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Ada yang beralasan supaya bayi cepat besar atau biar cepat kenyang.
Kenyataannya, bayi belum memiliki saluran cerna yang mampu mencerna makanan padat sebelum berusia 4 bulan. Tak jarang ada kejadian, bayi mengalami diare atau sembelit setelah diberikan makanan padat terlalu dini. Dalam kasus yang ekstrem, bahkan pernah terjadi bayi mengalami sumbatan pada usus dan harus dioperasi sebagai akibatnya. Selain itu, pemberian makanan padat yang terlalu dini juga berisiko menyebabkan anak mengalami obesitas di kemudian hari.
* Men-“cekok” anak yang tidak mau makan.
Bukan cerita baru kalau ada Mama yang kadang “mencekok” anak yang sulit makan. Biasanya karena si anak tidak mau makan atau makannya terlalu lama. Mencekok di sini, maksudnya adalah memaksa anak memakan/meminum yang diberikan oleh orang tuanya. Ada pula yang mencekok anak dengan memberikan jamu yang diharap akan membuat anak senang makan. Kadang bila anak memberontak, bahkan ada yang sampai juga dipegangi badannya agar makanan dapat dimasukkan ke dalam mulut anak.
Sesungguhnya, tindakan ini sangat berbahaya bagi kesehatan. Pemberian makanan atau minuman secara paksa, atau ketika anak sedang menangis dan berontak, memiliki risiko terjadinya aspirasi (masuknya) makanan/minuman ke saluran napas atau tersedak. Kedua hal ini dapat berakibat fatal bagi anak, apalagi bila masih bayi.
* Mengunyah dan meniup-niup makanan sebelum diberikan ke anak.
Ada beberapa orangtua yang punya kebiasaan mengunyahkan makanan sebelum diberikan kepada bayinya. Tujuannya agar lebih mudah ditelan oleh sang bayi atau anak. Makanan yang akan diberikan ini dimasukkan ke dalam mulut orangtua, dikunyah sampai lumat, lalu dikeluarkan lagi dari mulut dan diberikan pada bayi/anak.
Tentunya dari aspek higiene, hal ini tidak dapat dibenarkan. Bagaimanapun rongga mulut seseorang mengandung berbagai kuman, yang bila diberikan pada bayi dapat berakibat menjadi sakit.
Selain itu, ada pula yang bila akan menyuapkan makanan pada anak, makanannya ditiup-tiup dahulu. Nah, jangan salah, dengan ditiup-tiup, berbagai kuman yang ada di rongga mulut dapat terlontar pula ke makanan tersebut.
* Membuat sufor dengan air hangat dari dispenser.
Tak jarang Mama melarutkan sufor menggunakan air hangat dari dispenser. Dengan asumsi, air hangat sudah cukup untuk melarutkan susu secara merata, maka tidak usah sampai mendidih. Sebenarnya, membuat sufor yang benar adalah dengan menyediakan air panas yang sampai mendidih, lalu diamkan beberapa saat sekitar15—20 menit sampai suhu turun namun masih di atas 700C. Setelah itu, masukkan air panas tersebut ke dalam botol susu, lalu masukkan bubuk sufor sesuai takaran, dan aduk/kocok perlahan sampai merata.
Mengapa air dari dispenser menjadi masalah? Air panas yang dihasilkan dari dispenser sering kali tidak mencapai suhu di atas 700C. Padahal, bubuk sufor sesungguhnya tidaklah steril. Bila dilarutkan dengan air bersuhu di bawah 700C, maka masih ada kemungkinan terdapat bakteri dalam bubuk sufor yang tidak mati.
* Memberikan madu bagi bayi di bawah 1 tahun.
Madu memang diketahui memiliki berbagai khasiat bagi kesehatan. Karenanya, tak jarang ada orangtua yang memberikan madu pada bayinya dengan maksud agar semakin sehat.
Namun, sesungguhnya pemberian madu bagi bayi berusia di bawah 1 tahun tidak dianjurkan. Ini karena memiliki risiko masuknya spora dari kuman Clostridium botulinum dan dapat berakibat gangguan saraf yang berat. Pasalnya, pada usia di bawah 1 tahun, saluran cerna belum sempurna sehingga tidak dapat “menahan”dampak dari spora ini.
* Sakit flu namun tetap mencium-cium anak.
Sakit flu bisa saja mengenai siapa saja. Masalahnya, bila Mama atau Papa yang terkena, kadang dapat menjadi sumber penularan pada bayi/anak. Bagi sebagian besar orang dewasa, sakit flu ringan—dengan gejala batuk pilek—sering kali tidak memberikan dampak berarti bagi aktivitas sehari-hari. Di sisi lain, orangtua tentu ingin sekali selalu berdekatan dan menciumi anaknya yang lucu dan menggemaskan. Padahal, hal ini termasuk kebiasaan orangtua yang berisiko pada anak.
Nah, bila kebiasaan menciumi anak ini tidak dibatasi ketika sedang flu, tak jarang menyebabkan anak yang masih kecil tertular. Jangan lupa, penularan penyakit flu adalah melalui percikan ludah/bersin yang terhirup oleh orang lain. Salah satu cara mengatasinya sebenarnya tidak sulit, yaitu selama sakit dan berdekatan dengan anak, selalu menggunakan masker untuk menutup mulut dan hidung, agar tidak menjadi sumber penularan bagi si kecil.
* Orangtua perokok menggendong dan cium si kecil.
Tidak sedikit papa yang merokok. Nah, masalahnya, biasanya para papa ini setelah pulang bekerja dan masih bau rokok, ketika tiba di rumah ingin segera mencium sang buah hati yang lagi lucu-lucunya. Alhasil, udara napas yang dikeluarkan masih mengandung zat dari asap rokok.
Tak jarang mereka berkelit, “Kan merokoknya di luar dan tidak di depan anak.” Masalahnya, meskipun tidak ada asap yang terlihat, kalau masih tercium bau rokok dari napas atau dari pakaian, sudah cukup lo membuat bayi/anak mengalami reaksi hipersensitif terhadap bau tersebut. Buntutnya, tak jarang didapatkan kasus anak sering batuk-batuk ketika berdekatan dengan papanya yang perokok.
* Malas cuci tangan sebelum menyiapkan dan memberikan makan.
Menyiapkan makanan bagi anak tentu merepotkan bagi siapa pun. Sayangnya, karena saking repotnya, tak jarang para mama lupa atau malah malas mencuci tangan hingga bersih dahulu sebelum memberikan makan pada anaknya. Tak jarang karena mau cepat, tangan hanya di lap saja, tanpa cuci tangan dengan bersih.
Masalahnya, memberikan makan pada anak, sering kali tangan Mama ikut memegang makanan atau alat makannya. Jadi, bila tangan tidak bersih, kuman yang terikut dapat pula berpindah ke sang bayi dan menjadikannya sakit. (*)
(Martinus Leman. Foto:Thinkstock)
Penulis | : | Santi Hartono |
Editor | : | Santi Hartono |
KOMENTAR