“Risiko yang bisa terjadi itu yang paling umum adalah infeksi, dimana tindakan kuret tidak dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang bersih dan steril tentunya,” jelas dr. Ivander.
“Atau, bisa saja dilakukan dalam kondisi yang memang tidak memenuhi standar medis yang baik,” lanjutnya menjelaskan.
Selain itu, dr. Ivander juga mengungkapkan bahwa tindakan kuret juga berisiko untuk timbulnya perforasi.
Atau, biasa kita mengenalnya dengan sebutan rahim jebol.
“Perforasi atau rahim yang bolong atau jebol akibat tindakan kuret ini bisa terjadi karena banyak faktor,” katanya.
“Salah satunya adalah juga mengenai siapa yang melakukan tindakan kuretnya, sehingga memang harus dilakukan oleh dokter kandungan yang sudah berpengalaman dan sudah memiliki pengetahuan,” terangnya.
Menurut dr. Ivander, risiko terjadinya perforasi ketika kuret itu bisa terjadi akibat faktor kondisi rahim tertentu.
“Misalnya, rahim yang sudah pernah sesar. Maka, risiko untuk terjadinya perforasi lebih tinggi,” ungkapnya.
“Kemudian, rahim yang memang sangat tipis karena pernah melakukan operasi pengangkatan miom. Itu juga bisa rawan untuk mengalami terjadinya perforasi pada waktu dikuret,” tambahnya.
dr. Ivander juga mengungkap, tindakan kuret yang terlalu membahayakan juga bisa berisiko untuk terjadinya perforasi.
Apa Itu Silent Treatment? Kebiasaan Revand Narya yang Membuatnya Digugat Cerai Istri
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR