Sebenarnya, wajar saja bila kemudian orang tua/mertua ingin tahu, apakah bantuannya dimanfaatkan seperti yang diharapkan.
Namun tak berarti semua hal boleh dicampurinya. Pemanfaatan subsidi hanya boleh diintervensi sebatas saran. Setiap pasangan hendaknya punya independensi untuk mengelolanya.
Antara suami dan istri pun harus ada kesepakatan dulu, apakah subsidi, dalam bentuk apa pun, semisal uang atau kiriman makanan secara rutin, akan mereka terima atau tidak. Setelah itu, apa pun konsekuensi dari keputusan yang diambil bersama, harus diterima.
Yang penting diingat, kendati subsidi jalan terus, sebagai keluarga yang "merdeka dan berdaulat", harusnya suami-istri bisa menolak saran mertua/orang tua yang dirasa tidak pas.
Tentu saja penolakannya secara halus agar tak menimbulkan salah paham. Kalau sarannya memang bagus, tak ada salahnya diterapkan.
Masalahnya, yang sering terjadi, karena merasa sudah dibantu, semua yang disarankan mertua/orang tua seakan wajib untuk dilaksanakan.
Pada kondisi seperti inilah suami-istri bisa tertekan dan merasa terus diintervensi.
Kalaupun keberatan dengan subsidi yang diberikan, suami-istri harus kompak menyampaikannya dengan cara enak.
Misal, "Bukannya tidak mau, Ma. Siapa, sih, yang enggak senang masih dipikirin orang tua? Tapi kami juga ingin belajar mandiri. Kami hanya takut jadi kurang termotivasi kalau terus-menerus dibantu. Nanti kalau sampai ada apa-apa, toh, balik-baliknya, ya, ke Papa dan Mama juga."
Jika tak bisa ditolak sama sekali, usulkan baik-baik, bagaimana kalau pemberian hanya diberikan bila ada momen khusus semisal hari raya, ulang tahun, dan sebagainya.
Yang sulit ditolak adalah pemberian yang dilakukan secara ikhlas sebagai tanda sayang tanpa menuntut apa pun.
Baca Juga: Gejala Ruam Popok yang Perlu Diwaspadai oleh Orangtua
Source | : | Tabloid Nakita |
Penulis | : | Nita Febriani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR