Nakita.id - Berikut ini rangkuman Bab 5 pada Agama Islam kelas XI kurikulum merdeka.
Membahas tentang Ulama di Indonesia dan teladan yang dapat dicontoh umat Islam pada zaman sekarang.
Nama lengkapnya Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makasari.
Beliau dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan, pada tanggal 3 Juli 1626, sedangkan tempat wafatnya di Cape Town, Afrika Selatan, pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 72 tahun.
Beliau dijadikan sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Sementara di kalangan rakyat Sulawesi Selatan, mendapatkan gelar sebagai Tuanta Salamaka ri Gowa (tuan guru penyelamat kita dari Gowa).
Ketekunan, penjelajahan, dan ikhtiarnya dalam menuntut ilmu, dapat kita jadikan contoh.
Betapa tidak! Syekh Yusuf mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.
Pencapaian itu, sangat luar biasa, apalagi jika kita kaji dari sisi waktu, Syekh Yusuf melakukan itu sekitar abad 17.
Lagi-lagi, kalian sebagai penerus bangsa, dapat meneladani jejak langkah Syekh Yusuf dalam ikhtiarnya saat menuntut ilmu.
Syekh Abdus Samad dilahirkan di Palembang (kini masuk wilayah Sumatera Selatan) pada tahun 1116 H/1704 M, dan wafat pada tahun 1203 H/1789 M dalam usia 85 tahun.
Baca Juga: Kunci Jawaban Penilaian Pengetahuan Agama Islam Kelas XI Halaman 132-135 Kurikulum Merdeka
Beliau mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri di Palembang atau Kedah (Malaysia).
Sesampai di Makkah dan Madinah, semangat belajarnya semakin giat.
Ia mmpelahari dan menyerap beberapa ilmu yang belum dikuasai, dan memperdalam ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya dari guru dan ulama yang terkenal dengan sebutan Jazirah Arab.
Namun, beliau tidak melupakan negeri asalnya.
Syekh Abdus Samad tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara Indonesia.
Beliau mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual.
Nama lengkapnya Syekh Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi.
Jika ditelaah dari namanya, beliau memiliki darah keturunan (nasab) dari suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW.
Pengetahuan Syekh Nuruddin tak terbatas dalam satu cabang ilmu saja, namun sangat luas yang meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, dan mistisisme (tasawuf).
Beliau adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.
Peranan Syekh Nuruddin dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan.
Baca Juga: Persamaan dan Perbedaan Dakwah dengan Khutbah, Materi Agama Islam Kelas XI Kurikulum Merdeka
Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengurangi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di wilayah ini, beliau berupaya menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Nama populernya adalah Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh).
Tahun lahirnya adalah 1024 H/1615 M, sementara wafatnya di Kuala Aceh, Aceh Tahun 1105 H/1693 M).
Beliau adalah ulama besar Aceh, dan memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya.
Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Tengku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Diperkirakan Syekh Abdul Rauf kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M, dan mengajarkan serta mengembangkan Tarekat Syathariah yang diperolehnya.
Banyak santri dan murid yang berguru kepadanya, dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya.
Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatra Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Syekh Abdul Rauf menjadi rujukan penting para mubalig yang merintis dakwah ke berbagai daerah di Nusantara.
Hal itu sejalan dengan sifat strategis Aceh sebagai poros peradaban Islam di Kepulauan Indonesia.
Saat itu, Aceh merupakan tempat persinggahan para calon jamaah haji asal Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain.
Di kalangan ulama atau masyarakat awam, orang sering menyebutnya dengan nama Mbah Sholeh Darat.
Baca Juga: Pengertian, Rukun dan Sunnah Khutbah, Materi Agama Islam Kelas XI Kurikulum Merdeka
Kata “Darat” pada akhir nama beliau, disebabkan beliau tinggal di daerah yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang.
Saat ini, daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat.
Kiai Sholeh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya, beliau banyak berjumpa dengan kiai-kiai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin (tasawuf), yang kemudian dijadikan sebagai gurunya di Nusantara Indonesia, antara lain KH. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama besar dari daerah Pati Jawa Tengah sekitar abad ke-18.
Beliau juga berguru kepada KH. Syahid Waturoyo, KH. Muhammad Shaleh Asnawi (Kudus), KH. Haji Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Baguni, KH Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan KH Abdul Ghani Bima.
Nama populernya Syekh Hamzah Fansuri, atau Hamzah al-Fansuri. Nama al-Fansuri sendiri berasal dari Arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pantai Barat Sumatra yang kini terletak antara Singkil (Aceh) dan Sibolga (Sumatra Utara).
Merujuk zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan.
Sepanjang hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia.
Bahasa Arab dan Persia, merupakan bahasa penting pada abad ke-16, termasuk mengenai tasawuf Islam.
Di Barus pada masa itu, sudah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai.
Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus.
Itulah tokoh Indonesia yang berjuang menyebarkan Agama Islam di Indonesia.
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR