Di kalangan ulama atau masyarakat awam, orang sering menyebutnya dengan nama Mbah Sholeh Darat.
Baca Juga: Pengertian, Rukun dan Sunnah Khutbah, Materi Agama Islam Kelas XI Kurikulum Merdeka
Kata “Darat” pada akhir nama beliau, disebabkan beliau tinggal di daerah yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang.
Saat ini, daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat.
Kiai Sholeh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya, beliau banyak berjumpa dengan kiai-kiai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin (tasawuf), yang kemudian dijadikan sebagai gurunya di Nusantara Indonesia, antara lain KH. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama besar dari daerah Pati Jawa Tengah sekitar abad ke-18.
Beliau juga berguru kepada KH. Syahid Waturoyo, KH. Muhammad Shaleh Asnawi (Kudus), KH. Haji Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Baguni, KH Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan KH Abdul Ghani Bima.
Nama populernya Syekh Hamzah Fansuri, atau Hamzah al-Fansuri. Nama al-Fansuri sendiri berasal dari Arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pantai Barat Sumatra yang kini terletak antara Singkil (Aceh) dan Sibolga (Sumatra Utara).
Merujuk zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan.
Sepanjang hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia.
Bahasa Arab dan Persia, merupakan bahasa penting pada abad ke-16, termasuk mengenai tasawuf Islam.
Di Barus pada masa itu, sudah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai.
Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus.
Itulah tokoh Indonesia yang berjuang menyebarkan Agama Islam di Indonesia.
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR