Kain bawahan ini menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Apabila salah seorang di antara kami sedang haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memakai kain izaar (kain bawahan menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah).” (HR. Muslim)
Tapi bagaimana mencucinya?
Dari Abu Said al-Khudri, bahwa sahabat bertanya:
“Bolehkah kami berwudhu dengan air di sumur budha’ah, di sumur ini menjadi tempat pembuangan bekas haid, bangkai anjing, dan bangkai binatang?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jawaban dengan kaidah:
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, dan tidak bisa berubah jadi najis oleh sesuatu apapun.” (HR. An-Nasai, Turmudzi, Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Yang dimaksud ‘bekas haid’ (dalam hadis diungkapkan dengan : al-hiyadh) adalah pembalut yang digunakan ketika haid, sebagaimana penjelasan al-Mubarokfuri ketika menjelaskan hadis ini di Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
Teks hadis ini menunjukkan bahwa para sahabat membuang pembalut dalam kondisi masih penuh dengan darah haid.
Karena para sahabat yang menanyakan sumur budha’ah meyakini bahwa air sumur itu bercampur dengan darah haid, sehingga mereka menanyakan status kesucian air itu.
Baca Juga: Perbedaan Pembalut Biasa dan Pembalut Nifas Beserta Fungsinya
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Kirana Riyantika |
KOMENTAR