Nakita.id - Inilah cara mencuci pembalut yang benar menurut Islam.
Moms dan para wanita harus tahu agar tidak salah lagi.
Pembalut yang sudah dipakai, tidak boleh dibuang sembarangan.
Pembalut perlu dibersihakan terlebih dahulu.
Lantas, bagaimana cara membersihkan pembalut sesuai syariat Islam?
Menstruasi atau haid merupakan bagian dari siklus biologis wanita, termasuk muslimah.
Dikenal pula beragam produk pembalut yang digunakan untuk keperluan wanita haid.
Pada masa lalu, wanita menggunakan pembalut kain ketika sedang haid.
Pembalut kain dapat dicuci dan digunakan berulang kali.
Sedangkan di saat ini banyak wanita yang ketika haid memilih menggunakan pembalut sekali pakai yang diproduksi oleh industri.
Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pembalut yang digunakan perempuan ketika haid terbuat dari kain khusus yang disebut izaar.
Baca Juga: Peran Orangtua Saat Remaja Perempuan Mulai Alami Tanda Pubertas Bersama Hers Protex
Kain bawahan ini menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Apabila salah seorang di antara kami sedang haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memakai kain izaar (kain bawahan menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah).” (HR. Muslim)
Tapi bagaimana mencucinya?
Dari Abu Said al-Khudri, bahwa sahabat bertanya:
“Bolehkah kami berwudhu dengan air di sumur budha’ah, di sumur ini menjadi tempat pembuangan bekas haid, bangkai anjing, dan bangkai binatang?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jawaban dengan kaidah:
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, dan tidak bisa berubah jadi najis oleh sesuatu apapun.” (HR. An-Nasai, Turmudzi, Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Yang dimaksud ‘bekas haid’ (dalam hadis diungkapkan dengan : al-hiyadh) adalah pembalut yang digunakan ketika haid, sebagaimana penjelasan al-Mubarokfuri ketika menjelaskan hadis ini di Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
Teks hadis ini menunjukkan bahwa para sahabat membuang pembalut dalam kondisi masih penuh dengan darah haid.
Karena para sahabat yang menanyakan sumur budha’ah meyakini bahwa air sumur itu bercampur dengan darah haid, sehingga mereka menanyakan status kesucian air itu.
Baca Juga: Perbedaan Pembalut Biasa dan Pembalut Nifas Beserta Fungsinya
Tentang sumur budha’ah, Imam Abu Daud, membawakan keterangan dari Qutaibah bin Sa’d (wafat 240 H) yang pernah mengunjungi sumur ini. Beliau pernah bertanya kepada orang yang tinggal dekat dengan sumur budha’ah tentang dalamnya? Beliau menjawab:
أَكْثَرُ مَا يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ إِلَى الْعَانَةِ، فَإِذَا نَقَصَ، دُونَ الْعَوْرَةِ
“Maksimal sampai bulu kemaluan dan jika airnya sedikit di bawah kemaluan.”
Imam Abu Daud (wafat 275 H), penulis kitab Sunan Abu Daud, juga pernah mengunjungi sumur ini.
Beliau mengukur diameter sumur budha’ah dengan selendangnya, dan beliau ukur.
Ternyata panjangnya 6 hasta (sekitar 30 m).
Abu Daud bertanya kepada penjaga pintu taman tempat sumur tersebut:
“Apakah bangunan sumur ini telah diubah dari sebelumnya?.” Juru kunci itu menjawab: “Belum berubah.” Abu Daud melanjutkan, “Saya lihat warna airnya telah berubah.” (Sunan Abu Daud, Hadis no. 67).
Dalam Fatwa Islam no. 104456 ditegaskan, bahwa para sahabat bukan dengan sengaja membuang benda-benda najis tersebut ke sumur itu.
Tapi sumur ini bersambung dengan saluran pembuangan di kota Madinah. Sehingga terkadang ada bangkai dan bekas pembalut haid yang mengalir ke sana.
Karena airnya sangat banyak, najis yang masuk ke sumur itu, tidak sampai mengubah bau, rasa dan warnanya.
Baca Juga: Banyak yang Tidak Tahu, Ini 4 Bahaya Hubungan Intim Saat Menstruasi di Hari Pertama
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Kirana Riyantika |
KOMENTAR