Mita bahkan menyampaikan bahwa di dalam proses tumbuh kembang itu ada masa dimana anak belajar mandiri, belajar di sekolah, belajar berteman, belajar beradaptasi, juga belajar mengenal dunianya.
"Nah, itu yang nanti prosesnya enggak smooth lagi, sehingga dampaknya pada akhirnya mungkin baru terasa di saat-saat itu," ungkapnya.
"Misalnya, muncul masalah-masalah baru atau nanti di jangka panjang, pas (anak) sudah besar. Jadi, baru kerasanya tuh enggak bisa-bisa atau enggak enak-enaknya, enggak lancar-lancarnya," katanya.
Mita menyebut ada dua dampak yang bisa terasa, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
"Kalau yang langsung tuh misalnya, anak ingin makan es krim tapi enggak boleh karena ada aturan dari orangtuanya setelah ada penjelasan, kesepakatan, dan sebagainya. Tapi, kita perlu juga mengajarkan anak bahwa (aturan) ini sebenarnya enggak bolehnya kenapa sih," kata Mita.
"Terus, kalau misalnya anaknya kemudian marah-marah dan memaksa, kita (orangtua) juga harus bisa handle dengan baik juga. Kita harus juga ajarin ke anaknya bahwa, 'Oh, ini yang dia rasain tuh emosinya enggak suka, kesal'. Jadi diajarin, supaya next time ketika dia (anak) ngerasain (emosi yang sama), dia bisa nge-deal sama emosi itu," jelasnya.
Psikolog anak ini menjelaskan, jika anak tidak diajarkan orangtuanya sejak dini, anak menjadi tidak belajar untuk melampiaskan emosi dengan baik dan benar. Bahkan, dapat merugikan orang lain.
"Misalnya, dia (anak) marah-marahnya lempar-lempar bantal, lempar-lempar barang," sebutnya.
"Itu kan juga salah satu bentuk secara mental mungkin dia belum matang emosinya, belum tahu bagaimana cara regulate-nya, belum tahu gimana cara ekspresiin yang baik itu," katanya menyampaikan.
Selain itu, tambah Mita, anak juga akan bingung bagaimana cara menyampaikan emosi yang sebenarnya.
Ditambah, orangtuanya juga ikut frustasi karena tidak paham kemauan anaknya.
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR