Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, dr. Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan bahwa konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan kesehatan.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (Susenas) tahun 2021, pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.
Selain itu, rokok menjadi persentase pengeluaran keluarga terbesar kedua sebanyak 11,9 persen baik di perkotaan maupun di pedesaan dibandingkan untuk mereka yang mengonsumsi makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam.
Perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr. Feni Fitriani Taufik menjelaskan, di RSUP Persahabatanm Jakarta, pernah dilakukan penelitian pada bayi.
Ada tiga kelompok bayi yang dilahirkan yakni dari ibu yang tidak merokok, ibu yang jadi perokok pasif, dan ibu perokok aktif.
Hasilnya didapatkan bahwa pada plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin.
Kemudian, dari waktu lahir pun panjang badan dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.
"Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi," ungkap dr. Feni.
dr. Feni juga menjelaskan, ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke.
Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya, sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok.
Meski tidak terlihat, sisa bahan kimia ini bisa berbahaya karena dapat menempel dimana-mana.
Baca Juga: Stunting Masih Tinggi di Indonesia, Kemenkes Dorong 3 Upaya Penanganan dan Pengobatan
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR