Nakita.id - Peristiwa bom bunuh diri di 3 gereja dan kantor Polrestabes Surabaya, serta Rusunawa Wonocolo telah menelan 17 korban jiwa meninggal dunia, dan 45 jiwa mengalami luka-luka.
Diawali oleh kejadian bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna, dan Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya pada hari Minggu (13/5/2018).
Lalu disusul oleh bom di Rusunawa Wonocolo, dan terakhir di kantor Polrestabes Surabaya pada Senin (14/5/2018).
BACA JUGA: Jadi Sorotan, Lihat Video Cara Nagita Slavina Menyuapi Rafathar!
Tentu saja, peristiwa tragis ini memberikan trauma sendiri bagi para korban yang terluka, juga orang-orang di sekitarnya.
Terutama bagi anak-anak, yang masih sangat rapuh untuk merasakan kejadian traumatis di usia yang masih dini.
Psikolog Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa biasanya ada respon segera setelah peristiwa traumatis, seperti ledakan bom tsb, dan ada respon tertunda pada anak yang mengalami.
"Ketika anak mengalami kejadian traumatis, tentu ada dampak segera yang biasanya dialami oleh banyak individu ketika mengalami peristiwa traumatis, yang bisa dikatakan sebagai respon awal yang wajar," jelasnya.
BACA JUGA: Sisi Lain Puji Kuswati, Ibu Libatkan Anaknya Pada Peledakan Bom GKI Surabaya
Misalnya, merasa sangat shock (terguncang), mengalami luka fisik, respon emosional segera seperti menangis, berteriak dan seterusnya," terangnya dalam wawancara oleh tim Nakita.id via telepon pada Senin (14/5/2018).
Gisella mengingatkan untuk waspada terhadap dampak trauma yang tertunda, atau yang tidak muncul langsung setelah peristiwa tersebut terjadi.
"Dan yang harus diwaspadai mungkin adanya dampak trauma yang tertunda, yang mungkin muncul pada waktu jangka panjang setelah mengalami peristiwa traumatis.
Tetapi perlu diingat, dampak akan sangat beragam dari satu anak dengan anak lainnya dan setiap orang memiliki kemampuan masing-masing untuk bangkit dari dampak peristiwa traumatis," tambahnya.
BACA JUGA: Sebelum Jadi Korban Bom di Surabaya, Evan Gandeng Tangan Adiknya
Beberapa bentuk trauma yang tertunda, misalnya seperti mengalami perasaan yang mudah berubah, mudah sedih dan menangis, mudah marah, mempertanyakan situasi, merasa tidak aman, membentuk pemikiran bahwa semua orang dengan karakteristik seperti pelaku itu adalah jahat, dan sebagainya.
Gisella menyarankan pentingnya pemberian dukungan positif bagi para korban.
Misalnya orang-orang terdekat korban perlu menciptakan rasa aman secara emosional dan menerima dinamika perasaan emosi yang dialami oleh korban.
"Dengan kita menerima, memahami, memberikan lingkungan yang positif dan aman, maka kita akan membantu korban untuk lebih bisa mengelola kondisinya pasca peristiwa traumatik tersebut," jelas Gisella.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Amelia Puteri |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR