TabloidNakita.com - Kejadian pelecehan seksual pada anak balita mengancam kita.
Nah, ada banyak faktor yang menyebabkan anak rentan mengalami pelecehan seksual. Yang utama jelas adalah pengawasan lingkungan, baik itu lingkungan rumah maupun sekolah. Pengawasan lingkungan yang baik akan meminimalkan anak dari pelecehan seksual atau menjadi korban kejahatan seksual.
Meski begitu, ada satu hal yang juga tak kalah penting mengapa anak rentan mengalami pelecehan seksual, ungkap Lucy Herny, Pelaksana Program Perempuan dan Anak, PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Pusat, faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Adanya gap komunikasi
Orangtua merasa paling tahu sehingga komunikasi berlangsung satu arah. Proses memberikan pendapat dan menerima pendapat, proses mendengar dan didengar. Kita seringkali mengabaikan hal-hal ini terlebih pada keterampilan kedua yaitu keterampilan mendengar (listening skill). Sering kali kita lupa bahwa proses komunikasi akan berjalan dengan baik apabila pihak-pihak yang terlibat dapat memposisikan dirinya sejajar.
2. Anak kurang mendapat informasi seputar seksualitas
Faktor ini memberikan andil yang cukup besar terhadap munculnya permasalahan tersebut. Banyaknya mitos-mitos seputar seksualitas yang justru masih sangat diyakini kebenarannya oleh si anak. Hal ini kemudian terkait dengan akses di anak dalam menerima informasi yang benar seputar seksualitas. Akibatnya, saat mendapatkan perlakuan kejahatan seksual, anak tak dapat berbuat banyak.
3. Faktor ketiadaan peran orangtua sebagai sumber informasi yang pertama dan utama
Banyak di masyarakat, para orangtua yang beranggapan berbicara tentang permasalahan seksualitas adalah hal yang tabu--apalagi dibicarakan dengan anak-anak--sehingga masalah seksualitas tidak perlu dibicarakan atau hal yang akan dibicarakan hanya jika dirasa perlu. Padahal dalam hal pendidikan seksualitas, orangtua seharusnya dapat menjadi narasumber dan role model (teladan) pertama dan utama bagi anak, bahkan sejak anak berusia dini (balita).
Dapat dibayangkan kemudian betapa besarnya rasa keingintahuan si anak dan banyaknya pertanyaan-pertanyaan anak yang tidak terjawab oleh orangtua, sehingga jangan salahkan anak, kalau kemudian si anak mencari sendiri sumber-sumber informasi itu terlepas dari apakah informasi-informasi yang diterimanya kemudian adalah informasi yang benar atau salah.
4. Konsep/citra diri diri anak yang buruk
Faktor lain yang menyebabkan hal di atas adalah ketidakmampuan si anak untuk menolak (berkata “tidak”) apalagi dengan sikap asertif (positif). Nah, ketidakmampuan ini terkait dengan konsep diri yang dimiliki anak. Apakah si anak memiliki konsep diri yang positif (misalnya percaya diri) atau negatif (misalnya memandang jelek diri sendiri). Sedangkan proses menumbuhkan konsep diri anak pada gilirannya erat kaitannya dengan pola asuh orangtua.
Yang harus dipahami adalah pola asuh orangtua mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk bukan hanya perilaku anak akan tetapi juga konsep diri anak, yang dapat menentukan bagaimana seorang anak akan dapat berpikir dan bersikap. Termasuk berpikir dan bersikap untuk menolak berhubungan seks dini, karena anak telah dibekali oleh pengetahuan dan nilai dari dalam diri anak. Ini yang seringkali kita lengah sebagai orangtua.
Apabila kita renungkan bersama yang sering terjadi, kita sebagai orangtua kerap kali bersikap sebagaimana orangtua yang :
*“Sok tahu”
Dengan mengatakan kepada anak : “Iya, kan. Apa Ibu/Ayah bilang, harusnya kan kamu tidak melakukan hal itu. Lihat akibatnya sekarang. Itu karena kamu tidak mendengarkan Ibu/Ayah”.
*Bergaya komandan.
Dengan mengatakan kepada anak :“Jangan menangis terus, nanti malah Ibu/Ayah pukul”
*Menceramahi
Orangtua seperti ini bersikap terlalu mengatur dan menilai sesuatu tanpa memberikan kesempatan kepada si anak untuk berpendapat. Bukan berarti dengan hal ini orangtua tidak bolah menegakkan disiplin yang ada. Akan tetapi orangtua harus juga bisa menggali pendapat anak, bukan hanya menceramahi.
*Judgemental (penilai)
Dengan mengatakan kepada anak :“Ibu/Ayah pikir, itu memang salahmu kok, bukan temanmu. Pantas saja kamu jadi dijauhi oleh teman-temanmu. Iya kan, iya kan ?! “
*Menyindir (nyinyir)
Orangtua yang biasa menyindir, senang mengolok-olok atau memberikan gelar atau julukan yang tidak baik bagi anak.
*Pemeriksa
“Setelah Ibu/Ayah lihat, kesalahan kamu itu adalah bla, bla, bla.”
Nah, gaya-gaya komunikasi tersebut diatas masih banyak dipakai oleh kebanyakan orangtua. Dan tanpa disadari oleh orangtua, ke semua gaya di atas, bukan hanya menyakitkan hati anak. Akan tetapi lebih jauh dari itu, anak akan merasa diintimidasi terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan menyebabkan anak akan memandang negatif terhadap dirinya sendiri.
Penjelasan di atas menyarankan orangtua mengubah pola komunikasi sekaligus pola asuh di rumah. Dengan begitu, anak memiliki benteng saat berhadapan dengan Meski begitu, seperti dijelaskan di atas, pengawasan orang dewasa di lingkungan sekolah maupun rumah tetap menjadi faktor penting dalam mencegah pelecahan seksual. Ingat, anak adalah sosok tak berdaya bila berhadapan dengan orang dewasa.
Mengatur Jarak Kelahiran dengan Perencanaan yang Tepat, Seperti Apa Jarak Ideal?
KOMENTAR