Nakita.id - Setiap negara di dunia ini tentu memiliki peraturan, termasuk kebijakan mengenai pajak.
Beberapa negara bahkan memiliki aturan pajak yang cukup aneh dan konyol bagi para warganya sendiri.
Nah, ini dia Moms deretan negara dengan kebijakan pajak paling tidak biasa:
Uganda = pajak media sosial
Sejak Juni 2018, Uganda menerapkan aturan pajak bagi warga negaranya yang menggunakan media sosial.
Aturan ini jelas menimbulkan kontroversi bagi semua warga.
Bagaiman tidak, warga harus membayar sekitar Rp750 per hari, untuk setiap aplikasi media sosial yang digunakan.
Misalnya memakai Facebook, Twitter, Instagran, dan Whatsapp, berarti 4 aplikasi dikali Rp750 = Rp3 ribu rupiah.
Dalam sebulan, total pajak yang harus dibayarkan bisa mencapai Rp90 ribu jika seseorang rutin mengakses media sosial setiap hari.
Jika dalam satu hari tidak memakai media sosial sama sekali, maka warga juga terbebas dari pajak tersebut.
Kebijakan ini dibuat oleh pemerintah Uganda untuk mengurangi penyebaran hoax dan gosip di kalangan masyarakat.
BACA JUGA: Rokok Elektrik Menjadi Primadona Masyarakat, Begini Tanggapan PERKI
Swiss = pajak memelihara anjing
Rakyat Swiss yang memiliki anjing sebagai hewan peliharaan harus membayar pajak tahunan, atau anjing itu akan ditembak oleh petugas.
Tidak ada besaran pajak yang pasti, karena semua tergantung dengan ukuran dan jenis anjing yang dimiliki.
Namun, rata-rata pajak seekor anjing yang harus dibayarkan oleh pemiliknya mencapai Rp 700 ribu rupiah per tahun.
Venezuela = pajak bernapas
Venezuela sebenarnya tidak mengenakan pajak bernapas yang dihitung dengan jumlah helaan napas setiap orang.
Namun, secara tak langsung warga dikenai "biaya bernapas" khusus pada penumpang yang terbang melalui Bandara Internasional Maiquetia di Caracas sebesar Rp260 ribu.
BACA JUGA: Mulai Hari ini! Ada Area Khusus Taksi Online di Bandara Soetta
Pemerintah menyatakan, bahwa pajak tersebut diperlukan untuk mendanai sistem penyaringan udara di bandara.
Menurut Kementerian Air dan Transportasi Udara, sistem penyaringan udara ini dibuat untuk membersihkan udara di bandara dan menghambat pertumbuhan bakteri.
Tapi pajak ini dicemooh warga Venezuela, menurut mereka ini hanya akal-akalan pihak bandara yang hampir bangkrut.
Rumania = pajak ilmu sihir dan ramalan
Sihir dan ramalan termasuk bisnis yang besar di Rumania, disebabkan ternyata masih banyak masyarakat disana yang percaya takhayul.
Untuk menghasilkan lebih banyak uang, pemerintah Rumania mengenakan pajak atas profesi kontroversial termasuk tukang shir dan peramal nasib.
Mereka diharuskan membayar 16% dari penghasilan tahunan mereka sebagai pajak profesi.
BACA JUGA: Rahasia Makeup Sempurna Artis dari Bubahalfian, Make Up Artist Profesional
Amerika Serikat = pajak suap dan penghasilan ilegal
Dinas Pendapatan Internal Amerika Serikat (IRS) menuntut siapa saja yang menerima suap, agar melaporkannya sebagai bagian dari penghasilan mereka.
Setelah itu, besaran suap tersebut akan dikenakan pajak dan harus dibayarkan.
Bahkan dalam kasus pencurian, pencuri harus membayar pajak yang sesuai dengan nilai pasar barang hasil curian.
Mereka akan dibebaskan dari pajak, jika mengembalikan barang curiannya pada tahun yang sama dengan saat mereka mengambilnya.
Tanzania = pajak blogging
Bagi Moms yang aktif menulis melalui media blogging, Moms bahagia karena tidak tinggal di Tanzania.
Pemerintah Tanzania menetapkan aturan pajak sebesar Rp5,7 juta tiap tahun bagi warganya yang ingin membuat konten online.
Tak hanya berlaku untuk media blog saja, tapi juga untuk para anggota forum online, pembuat video Youtube, dan pelanggan konten online lainnya.
Setelah mendaftar dan membayar pajak pada pemerintah, para kreator konten ini baru akan mendapat lisensi resmi.
Jika tidak punya lisensi tapi nekat, maka siap-siap didenda sebesar Rp32,5 juta atau penjara 1 tahun.
BACA JUGA: Membawa Bayi Mudik dengan Mobil Pribadi, Jangan Lupakan 9 Hal Penting Ini Moms
Kira-kira bagaimana ya jikapajak-pajak di atas ada yang diterapkan di Indonesia? (*)
Source | : | listverse.com |
Penulis | : | Erinintyani Shabrina Ramadhini |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR