Nakita.id – Fenomena perceraian semakin sering terdengar setiap tahunnya.
Perceraian merupakan momok yang paling menyeramkan bagi setiap hubungan pernikahan.
Tentunya ketika memutuskan untuk menikah, tidak ada orang yang menginginkan cerai. Namun, karena masalah yang tak kunjung berhenti membuat beberapa pasangan memutuskan untuk berpisah demi kebahagiaan masing-masing.
Di kalangan selebriti sendiri, berita perceraian selalu menjadi trending topic.
Di tahun 2018 ini saja terdapat beberapa perceraian kontroversial dari kalangan selebriti, diantaranya Gracia Indri, Shezy Idris, Delon Idol, Nicky Tirta, dan masih banyak lagi.
Baca Juga : Sule dan Lina Akan Cerai, Ini Dampak Psikologis Anak Tergantung Usia Dalam Menghadapi Perceraian Orangtua!
Tak jarang, perceraian diikuti pertikaian tak berkesudahan yang membuat hubungan kedua belah pihak pasca bercerai menjadi renggang.
Tak hanya itu, banyak juga selebriti yang mengalami kegagalan rumah tangga lebih dari satu kali.
Beberapa artis yang mengalami kegagalan rumah tangga berkali-kali diantaranya adalah Ayu Azhari, Desy Ratnasari, Nikita Mirzani, dan masih banyak lagi.
Ternyata, fenomena perceraian yang semakin tinggi tak hanya terjadi di Indonesia, Moms.
Beberapa negara ini bahkan didapuk sebagai negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia.
Negara apa saja? Berikut ulasannya dikutip dari unifieldlawyers.com.au.
1. Luxemburg
Luxemburg merupakan salah satu negara terkecil di Eropa dengan jumlah penduduknya hanya berkisar 500.000 jiwa.
Baca Juga : Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesuburan Perempuan, Bikin Susah Hamil!
Negara ini membanggakan secara ekonomi, karena disebut negara maju dan memiliki daya beli masyarakat yang tinggi.
Ternyata, Negara ini didapuk sebagai negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia, yaitu hingga 87 persen.
Menurut penelitian, para penduduk Luxemburg menikah pada usia di atas 21 tahun dan memiliki usia pernikahan minimal dua tahun.
Kelompok usia yang paling banyak melakukan perceraian adalah 40-49 tahun.
Semakin naiknya tingkat perceraian ternyata bertolak belakang dengan tingkat pernikahan di Luxemburg yang menurun setiap tahunnya.
2. Spanyol
Spanyol, negara maju yang memiliki banyak destinasi wisata menarik ternyata memiliki angka perceraian cukup tinggi, yaitu 66 persen.
Diduga semakin tingginya angka perceraian dikarenakan keuangan Spanyol yang semakin sulit dalam beberapa waktu terakhir.
Banyak kasus perceraian terjadi karena salah satu pihak tak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya.
3. Prancis
Prancis digadang-gadang sebagai tempat paling romantia di dunia.
Banyak pasangan yang berbondong-bondong datang ke menara Eiffel untuk merasakan keromantisan yang begitu dalam.
Namun, ternyata tidak semua pasangan yang tinggal di Prancis berakhir bahagia.
Tingkat perceraian di Prancis berada di urutan ketiga paling besar di dunia, yaitu dengan presentase 55 persen.
Menurut penelitian, perceraian paling banyak terjadi di ibukota roman Negara itu, Paris. Diteliti 1,9 per 1.000 penduduk mengalami perceraian.
Usia legal untuk menikah di Perancis ditetapkan pada usia muda 18 tahun. Untuk anak perempuan yang berusia antara 15-18 tahun dan ingin menikah, mereka membutuhkan persetujuan dari setidaknya satu orang tua.
Karena tingginya angka perceraian akibat pernikahan dini, dikabarkan pemerintah Prancis sedang berusaha mengubah peraturan usia minimal pernikahan.
Baca Juga : Berusia 37 tahun, Irisan Kue Pernikahan Putri Diana Dijual Belasan Juta! Bisa Dimakan?
4. Rusia
Rusia masuk urutan keempat Negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia. Bahkan, dikatakan bahwa di masyarakat modern Rusia kini kegagalan pernikahan terjadi setiap detik.
Apa yang terjadi dengan para pasangan di Rusia?
Beberapa mengatakan ketidaksetiaan, kemiskinan, alkoholisme, dan kecanduan narkoba menjadi penyebab tingginya tingkat perceraian.
Persentase yang lebih kecil dari koresponden mengatakan pasangan bercerai karena kurangnya kompromi, keegoisan, kesalahpahaman, konflik, dan dampak media sosial.
Terdapat tahun-tahun rawan di pernikahan masyarakat Rusia.
Penelitian menyatakan bahwa sepertiga perkawinan gagal dalam 5 tahun pertama.
Dalam 5 tahun ke depan, seperempat pernikahan berakhir.
Tingkat perceraian sedikit demi sedikit akan berkurang dalam 5 tahun mendatang dan semakin menurun karena pasangan tetap bersama lebih lama.
5. Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki presentase perceraian sebesar 46 persen. Beberapa hal yang banyak menjadi pemicu perceraian adalah ketidak cocokan, perbedaan pendapat, perkelahian, dan masih banyak lagi.
Penelitian mengatakan bahwa pria yang mendapatkan penghasilan tinggi cenderung tidak akan mengubah status pernikahan mereka menjadi 'bercerai'.
Sayangnya, perempuan dengan pendapatan lebih tinggi memiliki peluang lebih kecil untuk menikah.
Baca Juga : Ikut Ajang Lari Electric Marathon Jakarta, Pelari Ini Meninggal Dunia di Tengah Acara, Ini Penyebabnya!
Dalam banyak kasus, pasangan dengan pendapatan rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bercerai karena masalah keuangan.
Peneliti ungkap tanda pernikahan yang akan gagal
Fenomena perceraian banyak menarik minat para peneliti untuk mengkaji secara mendalam. Dikutip dari Elite Readers, terdapat beberapa hal yang bisa menandakan pernikahan akan gagal.
Apa saja? Berikut ulasannya:
1. Menikah di usia terlalu muda atau terlalu tua
Penelitian oleh Profesor Nicholas Wolfinger dari University of Utah menemukan bahwa pasangan yang menikah di usia remaja atau di usia 30 tahunan ke atas berisiko tinggi perceraian.
Wolfinger juga menekankan persentase perceraian meningkat sebesar 5% per tahun pada pasangan berusia di atas 32 tahun.
"Untuk hampir semua orang, usia akhir 20-an tampaknya menjadi waktu yang terbaik untuk menikah."
2. Suami tidak memiliki pekerjaan tetap
Berdasarkan penelitian Harvard, uang tak selalu jadi faktor utama namun pembagian kerja yang tak adil bisa menyebabkan perceraian.
Studi yang dipublikasikan American Sociology Review tahun 2016 menyebutkan bahwa pernikahan setelah tahun 1975 risiko cerainya meningkat 3,3 % pada tahun berikutnya jika suami tidak memiliki pekerjaan tetap.
Sang peneliti, Alexandra Killewald menyimpulkan bahwa banyak pasangan yang masih menganggap suami sebagai pencari nafkah utama dan ini dapat memengaruhi keutuhan rumah tangga.
3. Tingkat pendidikan rendah
Rendahnya tingkat pendidikan bisa menjadi penyebab perceraian.
Kemungkinan pernikahan berakhir dengan perceraian lebih rendah pada orang berpendidikan tinggi, lebih dari separuh pasangan menikah yang tidak menyelesaikan Sekolah Menengah Atas berakhir dengan perceraian dibandingkan dengan 30% pernikahan lulusan universitas.
Menurut psikolog Eli Finkel, hal ini kemungkinan karena pendidikan secara langsung memengaruhi penghasilan pasangan.
4. Memperlakukan pasangan dengan buruk
Menurut psikolog John Gottman, perilaku ini merupakan 4 penunggang kuda pembawa malapetaka dalam pernikahan.
Perilaku tersebut adalah menghina pasangan, mengkritik pasangan, mencari alasan untuk pembenaran diri, dan menghindari konflik dengan tidak menyelesaikan masalah.
5.Romantisme berlebihan saat jadi pengantin baru
Memang baik jika berlaku manis pada pasangan saat masa awal pernikahan.
Baca Juga : Tak Terima dengan Hasil Diagnosis, Pasien Hajar Dokter Sampai Patah Tulang Rusuk!
Namun jika tidak konsisten akan mengakibatkan hubungan jadi membosankan.
Aviva Patz dari Psichologi Today mengungkapkan,"Pasangan yang terlalu romantis di awal pernikahan lebih rawan perceraian karena intensitas keromantisannnya terlalu sulit dipertahankan. Percaya atau tidak, awal pernikahan yang tidak terlalu romantis biasanya lebih menjanjikan masa depan."
6. Menghindari masalah dan konflik
Menurut ahli, pasangan yang cenderung menghindar dan tak bisa diajak diskusi merupakan pertanda buruk.
Faktanya, riset yang dipublikasikan Jurnal Pernikahan dan Keluarga tahun 2013 menemukan bahwa suami yang cenderung menghindari konflik menyebabkan risiko perceraian lebih besar.
Data ini berdasarkan 350 pasangan pengantin baru di Michigan yang diwawancarai periset.
7. Berbicara hal negatif tentang pernikahan
Tahun 1992, Gottman dan tim riset University of Washington melakukan penelitian dengan mewawancarai langsung beberapa pasangan. Mereka diminta menceritakan berbagai aspek hubungannya.
Berdasarkan wawancara tersebut, tim riset menyimpulkan bahwa perceraian bisa terjadi karena pasangan kurang memahami satu sama lain dan ikatannya kurang kuat.
Yang mengejutkan adalah mereka tak hanya berbicara hal negatif tentang pernikahannya, namun juga menjelekkan pasangannya.
Tips mempertahankan rumah tangga
Moms, setiap pernikahan tentu memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Namun, bukan berarti tidak bisa dipertahankan.
Moms dan Dads bisa berjuang mempertahankan keutuhan rumah tangga. Setelah melalui berbagai haling rintang, biasanya pernikahan akan semakin hangat karena bangga akan perjuangan dan kesetiaan pasangan.
Berikut 7 cara mempertahankan rumah tangga dikutip dari Psychcentral:
1. Bersikaplah jujur dengan diri sendiri mengenai tujuan hubungan Moms
Kategori mana yang Moms ikuti apakah untuk melindungi atau niat untuk belajar?
Apakah bertujuan untuk melindungi diri dari rasa takut, atau dari perilaku seperti kemarahan, menyalahkan, mengkritik, ancaman, atau perlawanan?
Atau ingin memiliki kontrol atas apapun lebih penting daripada mencintai diri sendiri dan pasangan?
Atau apakah niat utama Moms untuk belajar tentang mencintai diri sendiri dan pasangan?
Dasar untuk semua aturan lainnya adalah untuk belajar mencintai diri sendiri dan orang lain.
Jika tujuan utama Moms ialah untuk melindungi diri dari rasa sakit dan penolakan dengan perilaku mengendalikan, Moms tidak akan memiliki kesempatan untuk meningkatkan hubungan.
Maka masalah akan terus muncul.
Baca Juga : Riset: Tujuh Tahun Merupakan Fase Paling Rawan dalam Pernikahan, Ini Alasannya
2.Lepaskan masa lalu
Jika permasalahan selalu berujung pada masa lalu yang belum sirna, jangan menyalahkan pasangan untuk rasa sakit yang belum selesai itu.
Moms perlu memaafkan dan melupakan masa lalu, agar hubungan rumah tangga semakin harmonis.
3. Lepaskan diri dari konflik segera setelah salah satu tidak terbuka untuk saling belajar
Tidak ada gunanya mencoba membicarakan masalah dan masalah kecuali salah satu pasangan tidak saling terbuka dan belajar.
Jika Moms terbuka dan pasangan tidak, maka menyerahlah untuk mencoba memecahkan masalah dengan membicarakannya, dan pikirkan secara sepihak bagaimana cara hubungan kembali penuh cinta.
4. Mengurangi interogasi dan mengoreksi pasangan
Jangan lagi menganalisis atau mendefinisikan pasangan. Apalagi dengan pertanyaan interogasi yang benar-benar menyerang.
Perilaku ini sangat mengendalikan dan invasif. Tugas Moms adalah mendefinisikan diri sendiri, bukan pasangan!
Semakin tidak menilai dan tidak mengoreksi pasangan, semakin baik hubungan rumah tangga.
5. Sering bonding dan berbicara dari hati ke hati
Baca Juga : Jadi Ibu Rumah Tangga, Potret Nabila Syakieb Sekarang yang Memukau
Daripada selalu menuntut pasangan atas rasa takut yang kita rasa, lakukan bonding dengan pasangan.
Bonding ini akan meredakan perasaan takut, cemas, marah dengan pasangan kita. Dengan bonding kita pun tahu apa kata hati masing-masing.
6. Menerima kekurangan pasangan
Belajar untuk menghargai perbedaan daripada mencoba untuk membuat pasangan menjadi apa yang kita mau.
Dukung pasangan untuk menjadi dirinya sendiri, untuk melakukan apa yang ia senangi alias jangan mengekang.
Moms, sekali lagi, jika masih terjebak dalam pola pikir untuk mengontrol pasangan, Moms tidak akan memperbaiki hubungan.
Saling menerima dan belajar memahami ialah dasar untuk meningkatkan keharmonisan rumah tangga.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Source | : | nakita,Psychentral.com,Elite Readers |
Penulis | : | Kirana Riyantika |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR