#LovingNotLabelling: Stop Labeli Anak yang Membully Sebagai Pengganggu

By Ratnaningtyas Winahyu, Minggu, 31 Maret 2019 | 14:22 WIB
Melabeli anak sebagai pengganggu atau korban bisa berbahaya untuk tumbuh kembang anak #LovingNotLabelling (pixabay.com/Wokandapix)

Nakita.id – Kasus perundungan atau bullying yang terjadi di Indonesia bisa dibilang lumayan banyak.

Bullying bisa terjadi di mana saja, namun mirisnya bullying sering kali justru terjadi dalam lingkungan sekolah.

Ketika ada kasus bullying, semua orang menaruh perhatian pada korban.

Dan tanpa disadari, anak yang melakukan bullying, lantas dilabeli sebagai penganggu atau tukang bully.

Mungkin orang yang mengatakan seperti itu merasa kesal dengan sikap anak yang melakukan bullying, tetapi apakah memberi label seperti itu adil untuk seorang anak?

Meskipun ia memang telah melakukan perilaku yang kurang baik.

Label seperti tukang bully, pengganggu, atau korban sering digunakan oleh banyak pihak, mulai dari media, para ahli, maupun masyarakat untuk merujuk pada anak-anak yang menggertak orang lain dan anak-anak yang diganggu.

Alih-alih menyebut seorang anak sebagai "pengganggu," namun alangkah lebih baiknya jika menyebutnya "anak yang mengalami perundungan".

Moms mungkin bertanya-tanya, mengapa hal itu penting? Bukankah lebih mudah mengatakan "pengganggu"?

Memang rasanya agak canggung mengatakan "anak yang dirundung" atau "anak yang merundung."

Namun, melansir dari laman stopbullying.gov, terdapat beberapa alasan penting mengapa kita harus menghindari penggunaan label seperti pengganggu dan korban:

1. Melabeli seseorang memberi pesan bahwa perilaku anak tidak berubah dari satu situasi ke situasi berikutnya.

Sebenarnya, seorang anak dapat memainkan peran yang berbeda dalam bullying, tergantung pada situasinya.

Sebuah penelitian mengonfirmasi bahwa seringkali anak-anak yang melakukan bully, ternyata pernah atau bahkan sering mengalami bullying juga.

Baca Juga : I Am an ActiFE Mom, In Control, and Protected