Bukan Hanya Karena Gawai, Ternyata Ini Penyebab Lemahnya Tradisi Menulis Anak Indonesia

By Erinintyani Shabrina Ramadhini, Selasa, 8 Mei 2018 | 17:00 WIB
Mengapa tingkat menulis di Indonesia rendah dibahas dengan gamblang dalam gelar wicara (Erinintyani Shabrina)

Nakita.id - Di masa tumbuh kembangnya, membaca dan menulis menjadi tolak ukur penting utamanya bagi anak-anak.

Namun, sayangnya budaya literasi di Indonesia nyatanya masih rendah.

Data yang dilansir oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia hanya 0,01%.

Artinya, dari 10.000 anak, hanya satu anak yang senang membaca.

BACA JUGA: Cara Hilangkan Centang Biru di WhatsApp Agar Tak Ketahuan Sudah Membaca Chat!

Tak hanya itu, hasil survei dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2015 menemukan, peningkatan kompetensi anak Indonesia dalam menulis menempati peringkat ke- 60 dari 72 negara.

Padahal, membaca dan menulis tentunya akan lebih sempurna jika dapat berjalan beriringan dalam memajukan kompetensi anak.

"Itu dari tingkat internasional ya, bahkan dalam level nasional berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016 menyebutkan sebanyak 73% anak Indonesia masih dikategorikan kurang dalam hal kompetensi," ungkap Nurman Siagian selaku Pakar Edukasi Anak dalam gelar wicara "Membangun Generasi Cerdas Indonesia Mealui Kebiasaan Menulis" di bilangan Jakarta Pusat, Selasa (8/5).

Ia menambahkan, lemahnya tradisi menulis juga tak lepas dari pesatnya perkembangan gawai yang menyebabkan anak enggan menulis tangan.

BACA JUGA: Wow, Pegawai Maskapai Penerbangan Bocorkan Trik Jitu Dapat Tiket Murah

Padahal, menulis tangan memiliki banyak manfaat dalam mengasah keterampilan lainnya seperti berpikir kritis, daya ingat dan motorik.

Tak hanya itu, hal itu juga disebabkan kesulitan anak untuk memahami apa yang sudah dipelajari serta bagaimana mengekspresikan ide atau berargumen.

Perempuan yang aktif dalam Wahana Visi Indonesia ini menyoroti rendahnya kompetensi anak berakar dari kualitas guru.

Riset lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2014 menunjukkan, kompetensi tenaga pendidik Indonesia hanya berada pada angka 44,5 dari angka yang ideal yaitu 70.

BACA JUGA: Kemendikbud Ajak Siswa Laporkan Guru yang Merokok di Sekolah

Faktor lain yaitu, guru mengalami kesulitan dalam menyusun Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dalam kelas.

"Biasanya guru itu hanya copy paste saja akan apa yang sudah ada dalam kurikulum nasional, tanpa mencerna kembali apa tujuan pembelajaran itu untuk anak didik dan bagaimana merealisasikannya secara nyata," ujar Nurman.

Hal ini yang turut mendorong adanya gerakan nasional "Ayo Menulis Bersama SiDU!" dengan tujuan meningkatkan kebiasaan anak menulis sejak usia dini.

Gerakan ini melibatkan 20.000 murid dari 100 sekolah dasar di Jabodetabek yang pada tahap pertama akan berlangsuung hingga Mei 2018.

BACA JUGA: Jelang Puasa, Si Pra Sekolah Sudah Saatnya Dicoba Berpuasa

"Membiasakan menulis bermanfaat terhadap 3 aspek yaitu meningkatkan kecerdasan, daya ingat dan kreativitas anak," ujar Martin Jimi selaku Consumer Domestic Bussiness Head Sinar Dunia (SiDu).

Untuk membangkitkan kemauan anak menulis, disusun modul buku latihan menulis yang berlangsung selama 21 hari.

"Mengapa 21 hari, itu sudah ada penelitiannya bahwa kebiasaan baru dapat dibentuk jika dilakukan secara rutin selama 21 hari. Itu sudah waktu yang ideal," tutup Martin.