Kerja Perawatan Tak Berbayar Kerap Diaanggap Remeh, Padahal Nilainya Tidak Kalah dengan Kerja Kantoran

By Nita Febriani, Jumat, 19 Januari 2024 | 10:10 WIB
Kerja perawatan bisa memiliki nilai produktivitas yang sama bahkan lebih besar dari kerja kantoran (akaratwimages)

Para partisipan pun mengisi berapa pendapatan saat ini atau penghasilan terakhir jika sudah tak bekerja, untuk mendapatkan valuasi dari kerja perawatan yang mereka lakukan.

Hasilnya, kelima partisipan ini melakukan kerja perawatan lebih dari 100 jam, dan bahkan hingga lebih dari 400 jam dalam seminggu.

Padahal dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengatur, jam kerja untuk pekerja di Indonesia maksimal 7 jam per hari atau 40 jam per minggu

Dalam “Long working hours can increase deaths from heart disease and stroke, say ILO and WHO” (2021) disebutkan, jam kerja panjang 55 jam seminggu telah memicu 745.000 kematian akibat penyakit kardiovaskular pada 2016.

Mereka yang overworked juga lebih rentan terkena risiko stroke 35 persen dan penyakit jantung 17 persen, ketimbang mereka yang bekerja maksimal 40 jam seminggu.

Kelima partisipan mengaku tidak dapat dukungan yang cukup, baik secara fisik maupun mental.

Untuk itu, Early dari ILO menegaskan perlunya berbagai dukungan baik dari perusahaan maupun dari sistem jaminan sosial.

“Selain mengakui kerja perawatan sama pentingnya dan bernilai produktif dengan pekerjaan-pekerjaan lain, perlu adanya pengakuan terhadap pekerjaan-pekerjaan perawatan yang tidak berbayar melalui sistem jaminan sosial, seperti cuti berbayar untuk melakukan perawatan keluarga, sehingga perempuan masih dapat terus bekerja dan berpenghasilan,” jelasnya.

Dukungan-dukungan ini dapat meningkatkan partisipasi kerja perempuan yang saat ini berkisar 54,42 persen menjadi 70 persen sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2045.

Baca Juga: Diperlukan, Dukungan Perusahaan dalam Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan untuk Tetap Menyusui