Kerja Perawatan Tak Berbayar Kerap Diaanggap Remeh, Padahal Nilainya Tidak Kalah dengan Kerja Kantoran

By Nita Febriani, Jumat, 19 Januari 2024 | 10:10 WIB
Kerja perawatan bisa memiliki nilai produktivitas yang sama bahkan lebih besar dari kerja kantoran (akaratwimages)

Nakita.id - Kerja perawatan adalah semua kegiatan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain baik orangtua, anak-anak, lansia, disabilitas, dan lain sebagainya.

Perempuan faktanya paling banyak memanggul beban kerja perawatan tak berbayar di rumah.

Sebutlah tugas-tugas seperti merawat anak, merawat orangtua yang sakit, atau mengurus anggota keluarga yang menyandang disabilitas biasanya dibebankan pada perempuan.

Banyak hal yang mempengaruhi hal ini bisa terjadi dan dianggap normal dalam masyarakat.

Salah satunya, mungkin karena sejak kecil perempuan diajarkan kalau nanti kitalah yang akan mengemban tanggung jawab untuk merawat orang tua dan anak anak.

Sementara, laki-laki tidak pernah disosialisasikan atau dikonstruksikan seperti itu.

"Masyarakat masih menganggap bahwa kerja-kerja perawatan dan pengasuhan itu adalah kerja-kerja perempuan karena memang sudah terkondisikan dalam tanda kutip seperti itu.

Padahal ya sebetulnya kalau ada yang beruntung bisa mendistribusikan kepada suami, ada yang beruntung mendistribusikan kepada asisten rumah tangga.

Tapi juga ada yang masih dalam tanda kutip merasa tidak tega jika orangtuanya diurus oleh orang lain. Nah itu memang kondisi-kondisi seperti itu ada di masyarakat kita," jelas Eko Novi Arianti, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kemenpppa.

Ironisnya, survey International Labour Organization (ILO) dan KataData Insight Center pada tahun 2023 menyebutkan, separuh perempuan yang menjalankan kerja perawatan tak berbayar sampai harus merelakan pekerjaannya.

Kerja perawatan tak berbayar ini jika dihitung secara gradual jumlah jam kerjanya lalu dibandingkan dengan jumlah jam kerja di Indonesia, nilainya tak kalah dengan kerja kantoran.

Baca Juga: ILO Rilis Studi Terbaru Persepsi Pekerja Indonesia Akan Ekonomi Perawatan, Masih Banyak Perempuan yang Pilih Meninggalkan Karier

"Belum lagi kalau kita kaitkan dia harus meninggalkan pekerjaannya, dengan skill yang dia miliki untuk mengerjakan kerja perawat yang notabene butuh konsentrasi, butuh skill juga butuh kekuatan psikologis untuk bisa mengelola pekerjaan itu," kata Early D. Nuriana, National Project Officer on HIV/AIDS Prevention and Care Economy ILO Indonesia.

Paling tidak, menurut Early poinnya adalah bagaimana perempuan jadi bisa punya pilihan.

"Kalau memang perempuan masih bekerja, dia bisa dapat support dari kantor misalnya masih bisa cuti istirahat atau negara menyediakan layanan seperti daycare atau caregiver.

Sehingga kalaupun ia memilih untuk tetap mengerjakan perawatan secara ikhlas, bukan lagi karena tidak ada pilihan sampai harus resign atau pensiun dini, tapi memang karena ia memilih untuk berbakti," tambah Early.

Pasalnya, kerja perawatan ini sesungguhnya adalah pekerjaan penting, bernilai produktif, dan bernilai ekonomi tapi masih sering tidak diakui.

Pekerjaan ini tidak dinilai produktif karena biasanya yang melakukan pekerjaan ini dianggap orang yang tidak punya pengetahuan atau keterampilan.

Sebab lainnya, pekerja perawatan khususnya perempuan dinilai punya banyak waktu luang sehingga sudah sewajarnya melakukan pekerjaan domestik tanpa imbalan.

ILO bersama salah satu media perempuan Indonesia membuat eksperimen sosial perawatan pada akhir tahun 2023 lalu yang diproduksi menjadi sebuah film dokumenter pendek dan kemudian diputar di Taman Ismail Marzuki pada Kamis (18/1/2024).

Film berdurasi 20 menit ini mendokumentasikan eksperimen sosial yang dilakukan lima partisipan perempuan dengan latar belakang berbeda-beda.

Mereka kemudian mencatatkan kerja-kerja perawatan dan pengasuhan yang mereka lakukan di rumah tangga mereka selama seminggu.

Hasil dari pencatatan tersebut lalu diolah menjadi data dan dibandingkan dengan aturan jam kerja di Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu 40 jam per minggu.

Baca Juga: Anak Laki-laki dan Perempuan Ternyata Bisa Memiliki Soft Skills Peran Perawatan Sejak Dini, Lho

Para partisipan pun mengisi berapa pendapatan saat ini atau penghasilan terakhir jika sudah tak bekerja, untuk mendapatkan valuasi dari kerja perawatan yang mereka lakukan.

Hasilnya, kelima partisipan ini melakukan kerja perawatan lebih dari 100 jam, dan bahkan hingga lebih dari 400 jam dalam seminggu.

Padahal dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengatur, jam kerja untuk pekerja di Indonesia maksimal 7 jam per hari atau 40 jam per minggu

Dalam “Long working hours can increase deaths from heart disease and stroke, say ILO and WHO” (2021) disebutkan, jam kerja panjang 55 jam seminggu telah memicu 745.000 kematian akibat penyakit kardiovaskular pada 2016.

Mereka yang overworked juga lebih rentan terkena risiko stroke 35 persen dan penyakit jantung 17 persen, ketimbang mereka yang bekerja maksimal 40 jam seminggu.

Kelima partisipan mengaku tidak dapat dukungan yang cukup, baik secara fisik maupun mental.

Untuk itu, Early dari ILO menegaskan perlunya berbagai dukungan baik dari perusahaan maupun dari sistem jaminan sosial.

“Selain mengakui kerja perawatan sama pentingnya dan bernilai produktif dengan pekerjaan-pekerjaan lain, perlu adanya pengakuan terhadap pekerjaan-pekerjaan perawatan yang tidak berbayar melalui sistem jaminan sosial, seperti cuti berbayar untuk melakukan perawatan keluarga, sehingga perempuan masih dapat terus bekerja dan berpenghasilan,” jelasnya.

Dukungan-dukungan ini dapat meningkatkan partisipasi kerja perempuan yang saat ini berkisar 54,42 persen menjadi 70 persen sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2045.

Baca Juga: Diperlukan, Dukungan Perusahaan dalam Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan untuk Tetap Menyusui