PP Nomor 28 Tahun 2024, Boleh Aborsi untuk Korban Kekerasan Seksual

By Aullia Rachma Puteri, Rabu, 31 Juli 2024 | 11:15 WIB
Aborsi untuk Korban Kekerasan Seksual (Freepik.com/doidam10)

Nakita.id - Pada 26 Juli 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang memperbolehkan praktik aborsi dalam kondisi tertentu.

Keputusan ini menggarisbawahi perubahan signifikan dalam pendekatan pemerintah terhadap hak kesehatan reproduksi dan keselamatan perempuan di Indonesia.

Peraturan ini mencakup ketentuan untuk melakukan aborsi secara bersyarat, yang diatur dalam pasal-pasal spesifik dari PP tersebut.

Aturan Abori dari PP Nomor 28 Tahun 2024

Menurut PP Nomor 28 Tahun 2024, aborsi dapat dilakukan dalam dua kondisi utama: indikasi kedaruratan medis dan akibat tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lainnya.

1. Indikasi Kedaruratan Medis

Praktik aborsi diperbolehkan jika kehamilan mengancam nyawa atau kesehatan ibu.

Ini juga mencakup kondisi di mana janin memiliki cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki, yang membuatnya tidak mungkin hidup di luar kandungan.

Ketentuan ini dirancang untuk melindungi kesehatan dan keselamatan ibu serta mempertimbangkan kondisi medis yang tidak menguntungkan bagi janin.

2. Kehamilan Akibat Perkosaan atau Kekerasan Seksual

Aborsi juga diizinkan bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual lainnya.

Pasal 118 PP 28/2024 menyatakan bahwa untuk melakukan aborsi dalam kasus ini, diperlukan bukti berupa:

- Surat keterangan dari dokter mengenai usia kehamilan yang sesuai dengan waktu kejadian tindak pidana tersebut.

- Keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.

Baca Juga: Sempat Rasakan Narkoba hingga Seks Bebas, Artis Cantik Tanah Air Ini Akhirnya Hamil Duluan Baru Menikah, Sempat Ingin Aborsi Kandungannya karena Hal Ini

Pasal 122 menegaskan bahwa aborsi hanya boleh dilakukan dengan persetujuan dari perempuan yang hamil dan, dalam kasus non-perkosaan, dengan persetujuan suaminya.

Namun, ada pengecualian untuk korban perkosaan atau kekerasan seksual, di mana persetujuan suami tidak diperlukan.

Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual memiliki hak dan kedaulatan atas tubuh mereka sendiri dalam situasi yang sensitif dan penuh trauma.

Meskipun PP 28/2024 tidak secara spesifik mengatur batas usia kehamilan untuk melakukan aborsi, peraturan ini merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Pasal 31 ayat (2) dari PP 61/2014 menyatakan bahwa aborsi akibat perkosaan hanya boleh dilakukan jika usia kehamilan tidak lebih dari 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.

Ketentuan ini tetap berlaku sebagai peralihan sampai diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Pengesahan PP Nomor 28 Tahun 2024 ini membawa dampak signifikan dalam konteks hukum dan sosial di Indonesia.

Ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan hak-hak kesehatan reproduksi dengan nilai-nilai sosial dan agama yang ada di masyarakat.

Kebijakan ini juga menjadi bagian dari reformasi hukum yang lebih luas, yang mencakup revisi terhadap KUHP.

Kelompok advokasi kesehatan dan hak-hak perempuan umumnya menyambut baik langkah ini, meskipun ada juga kekhawatiran tentang implementasi dan aksesibilitas layanan kesehatan yang terkait.

Pengaturan yang jelas dan tegas sangat penting untuk memastikan bahwa perempuan yang membutuhkan layanan aborsi dapat mengaksesnya dengan aman dan legal, serta bahwa prosedur dilakukan dengan standar medis yang tinggi.

Baca Juga: Posisi Duduk Ibu Hamil saat Naik Motor, Perhatikan Aturan dan Risiko Berikut Agar Kehamilan Tetap Aman

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 adalah tonggak penting dalam peraturan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam isu kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan.

Dengan membolehkan praktik aborsi dalam kondisi tertentu, pemerintah Indonesia telah mengakui pentingnya hak perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri, terutama dalam situasi yang melibatkan risiko kesehatan atau kekerasan seksual.

Namun, tantangan masih ada dalam memastikan bahwa peraturan ini dilaksanakan dengan adil dan merata di seluruh negeri.

Edukasi publik, pelatihan tenaga medis, dan pengawasan ketat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak ini dihormati dan dilindungi.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu dilibatkan dalam dialog yang konstruktif mengenai isu ini untuk mencapai pemahaman dan penerimaan yang lebih luas.

Dengan demikian, PP Nomor 28 Tahun 2024 tidak hanya menjadi regulasi hukum, tetapi juga cerminan perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia, menuju perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak individu dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Baca Juga: Insiden Meninggalnya Novia Widyasari Hebohkan Jagat Maya, Apa yang Harus Dilakukan Jika Teman Mengalami Pelecehan Seksual?