Makanan Transgenik, Untuk Hewan atau Manusia? Sehatkah Dikonsumsi?

By Gazali Solahuddin, Selasa, 18 September 2018 | 21:26 WIB
Kedelai dan olahannya, tempe, yang kita makan, bisa jadi hasil rekayasa genetika. (pixabay)

Nakita.id – Banyak yang tak sadar jika kita sering mengonsumsi makanan transgenik.

Berbahayakah makanan hasil rekayasa genetika tersebut?

Sebelum mengetahui jawabannya, baiknya kita mengetahui dulu apa itu makanan transgenik.

Pangan transgenik atau GMO (genetically modified organism) adalah penganan yang bahan dasarnya berasal dari organisme hasil rekayasa genetika.

Teknologi ini sebenarnya bertujuan mulia, yakni meningkatkan dan menyempurnakan kualitas pangan.

Dengan bioteknologi ini, gen dari berbagai sumber dapat dipindahkan ke tanaman yang akan diperbaiki sifatnya.

 Baca Juga : #LovingNotLabelling: Begini Cara Mengatakan Bodoh, Malas, dan Nakal yang Benar Pada Anak

Gen adalah kumpulan molekul ADN (asam deoksiribonukleat) yang mengatur sifat dan karakter makhluk hidup.

Nah, dengan kecanggihan teknologi rekayasa genetika ini, gen dengan karakter tertentu dari sebuah sumber (baik itu tanaman, hewan, atau bakteri) dapat dipindahkan atau dicangkokkan ke sel lain, dengan harapan bisa membentuk dan menghasilkan tanaman unggul seperti yang diharapkan.

Makanan Transgenik di Indonesia

Sebagai contoh, tomat yang awalnya tidak bisa ditanam di daerah bersuhu rendah, setelah direkayasa menjelma menjadi tanaman tahan beku dan memiliki musim tumbuh lebih lama.

Baca Juga : 2 Hal Ini Membuat Kita Lebih Awet Muda, Salah Satunya Bercinta!

Caranya sungguh unik, yakni dengan "menggunting" gen ikan flounder (ikan yang hidup di daerah es di Arktik) dan "merekatkan" gen tersebut pada buah bulat merah ini.

Hasilnya, tomat pun dapat ditanam di segala cuaca. Contoh lain adalah kedelai yang rawan akan hama lantas disisipi bakteri dari tanah yang mampu mengeluarkan pestisida alami.

Alhasil, setelah dilakukan rekayasa genetika, hama yang menyerang kedelai akan mati dengan sendirinya.

Ini tentu kabar baik bagi petani, sebab mereka bisa meminimalkan penggunaan pestisida kimia.

Untuk dikathui, hingga saat ini terdapat ratusan jenis tanaman transgenik. Sebagian besar memang belum dilepas ke pasaran sebab masih dalam penelitian.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Tak Disangka, Ucapan Orangtua Seperti Ini Akan Membentuk Anak Jadi Sombong

Namun, hingga tahun 2004 tercatat ada sekitar 24 sampai 30 jenis tanaman hasil rekayasa genetika yang telah dikomersialisasikan.

Sebagian produk transgenik yang paling populer, termasuk di Indonesia adalah kapas, kedelai (beserta olahannya seperti tempe, tahu, kecap, susu kedelai, dan lain-lain), tomat (beserta olahannya seperti saus, jus, dan lain-lain), jagung (beserta olahannya seperti minyak jagung, keripik, popcorn, dan lain-lain), kanola (beserta olahannya seperti minyak).

Produk-produk ini, tanpa disadari masyarakat luas telah beredar bebas di Indonesia dari pasar-pasar tradisional hingga supermarket dan hipermarket.

Hati-hati dengan Makanan Transgenik

Masalahnya, di Indonesia belum ada perangkat untuk mengontrol produk transgenik yang beredar.

Alhasil pemerintah belum dapat melakukan kajian untuk menetapkan bahan pangan produk transgenik apa yang boleh dan tidak boleh masuk ke sini dan dikonsumsi manusia.

Baca Juga : Miris! Demi Selembar Pembalut, Siswi di Kenya Melakukan Hubungan Intim

Contohnya, ada bibit kedelai transgenik yang diperuntukkan untuk pakan ternak saja.

Bagaimana bila karena ketidaktahuan masyarakat atau petani kemudian bibit impor ini ditanam lalu hasilnya dikonsumsi oleh kita? Pangan hewan jelas tidak cocok bahkan berbahaya jika dimakan manusia.

Kekhawatiran lain adalah pangan hasil rekayasa genetika ini berisiko mengandung senyawa toksik (racun), alergen (pemicu alergi), dan telah mengalami perubahan nilai gizi.

Tak bisa dipungkiri, teknologi ini memang sempat menorehkan catatan buruk di Amerika.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Kebiasaan Orangtua Seperti Ini Membuat Anak Laki-laki Menjadi Feminin, Kisah Nyata!

Beredarnya suplemen kesehatan transgenik yang mengandung L-tryptophan pada tahun 1989 di negeri Paman Sam mengakibatkan 37 orang meninggal, 1.500 menderita cacat, dan 5.000 orang dirawat di rumah sakit akibat EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome/sindrom dengan gejala nyeri otot yang parah dan disertai meningkatnya jumlah sel darah putih).

Dalam kasus ini, L-tryptophan dihasilkan dari fermentasi bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Untuk meningkatkan produksi asam aminonya, perusahaan pembuatnya yaitu Showa Denko merekayasa gen bakteri Bacillus amyloliquefaciens tersebut.

Pada saat bersamaan perusahaan asal Jepang ini juga mengurangi penggunaan karbon aktif yang diperlukan untuk penyaringan.

Baca Juga : Ingin Pastikan Perempuan Puas dalam Bercinta? Hindari 2 Hal yang Jadi Momok Ini!

Ada ahli yang menyatakan, bakteri yang ditransfer mengalami reaksi sampingan, yaitu membentuk senyawa baru yang serupa dengan tryptophan tetapi dampaknya cukup mematikan bagi manusia.

Namun ada juga yang mengatakan EMS akibat tryptophan ini diakibatkan proses penyaringan yang tidak sempurna (akibat karbon aktif yang direduksi). Jadi bukan disebabkan penggunaan transgenik bakteri.

Terlepas mana pendapat yang benar, beberapa negara pada akhirnya begitu ketat menyaring produk transgenik melalui serangkaian pengujian.

Hasilnya, setiap produk yang dibuat dari bahan transgenik atau olahannya dan dijual ke pasaran, diberi label keterangan kandungan bahan transgenik tersebut.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Hati-hati, Memberikan Pujian Pada Anak Bisa Berbahaya Bila Dilakukan Dengan Cara Ini