Dianggap Tabu, Tidak Adanya Pendidikan Seksual pada Anak Jadi Risiko Tertinggi Maraknya Pelecehan Seksual

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Minggu, 23 September 2018 | 13:34 WIB
Ilustrasi pelecehan (Tribun Manado)

Kepala sekolah Thorncliffe Park, Jeff Crame memulai dari penamaan alat kelamin.

Dalam pelajarannya, anak-anaknya diberi penjelasan tentang penggantian beberapa kata, terutama pada alat kelamin.

Penis dan vagina diganti dengan kata 'bagian pribadi'.

Sekolah juga menukar anatomi dasar dengan pelajaran tentang rasa malu secara seksual.

Sementara beberapa orangtua juga setuju bahwa program yang ditegakkan pihak sekolah ini mambu membantu menjunjung nilai religius kesopanan.

Dengan mengajarkan istilah 'bagian pribadi', pada tahun awal, sekolah mampu mengirim pesan pada anak-anak bahwa nama asli tersebut tak dapat diterima secara luas dan anak-anak akan memiliki rasa takut dan malu untuk mengucapkannya karena mampu mengurangi harga dirinya.

Setelah itu, kurikulum melanjutkan dengan memberi pengetahuan tentang kesehatan sekual dengan konsep ketidakpantasan menyentuh atau memperlakukan bagian tubuh.

Sekolah menitikberatkan pada aturan bagian tubuh yang boleh diketahui orang lain.

Program tersebut efektif, karena dalam waktu singkat, pelecehan seksual bisa diwaspadai. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah menerapkan ajaran pendidikan di sekolanya.

Bahkan ada pula yang sudah berani menyuarakan atau melaporkan penyalahgunaan atau tindak pelecehan seksual yang menimpanya.

Cara kecil yang dilakukan kurikulum di Toronto ini menekankan bahwa bila hanya dengan penggantian bahasa saja anak-anak sudah merasa malu dan waspada, bayangkan seberapa besar potensi aib mereka bisa tersentuh orang lain?

Anak-anak di sekolah-sekolah Toronto juga diajarkan menghargai tubuh mereka sendiri dan menghargai tubuh orang lain.