Jessica, Anak Asal Sulawesi Meninggal Akibat Dibakar Ibu, Peneliti: 71 Persen Pelaku Kekerasan Anak Yaitu Orangtua Sendiri! Ini Penyebabnya

By Kirana Riyantika, Sabtu, 27 Oktober 2018 | 10:01 WIB
Jessica Mananohas meninggal karena dibakar ibu kandung, peneliti sebut penyiksaan anak paling banyak dilakukan orangtua sendiri! (Tribun Manado/Nielton Durado)

Nakita.id – Baru-baru ini masyarakat Tanah Air merasa miris dengan kasus kekerasan yang dilakukan ibu kepada anaknya.

Ibu yang tega menyiksa anaknya adalah Olga Semet (OS), warga Sangihe, Sulawesi Utara.

OS tega membakar tubuh anaknya yang bernama Jessica Mananohas (10) pada Rabu (12/9/2018) hingga akhirnya Jessica meninggal dunia pada Selasa (23/10/2018).

Dikutip dari Tribunnews.com, OS tega membakar putri kecilnya hanya karena masalah sepele, yaitu pisau dapur.

Di hari insiden penyiksaan, OS kebingungan mencari pisau dapur yang biasanya dipakainya untuk memasak.

Baca Juga : Meski Ampuh Bersihkan Kotoran, Jangan Pakai Alkohol Untuk Hal Ini! No. 5 Sering Moms Lakukan

Kemarahannya tak terbendung saat Jessica dan saudaranya, Dave, tidak kunjung menjawab permintaan tolong sang ibu untuk mencari pisau tersebut. Jessica segera menjadi sasaran kemarahan OS.

Sang ibu memukul kedua tangan dan kakinya dengan pelepah kelapa dan menyiram tubuh Jessica serta Dave dengan minyak tanah.

Setelah itu, OS mengambil pelepah pisang dan membakar pelepah kelapa yang telah diolesi dengan minyak tanah.

OS segera mencari Jessica yang berlari dari kemarahan ibunya itu. Bak seperti orang kesetanan, OS tega menyulut tubuh Jessica dengan api di pelepah kelapa yang telah disulutnya dengan api.

Setelah itu, Jessica pun berlari menjauh hingga terjatuh di dekat tempat sampah. Melihat hal itu, OS pun segera mengejar Jessica dan mencoba menolong korban dengan mengoleskan tomat dan sayur daun gedi ke tubuh Jessica. Lalu bersama tetangga, Jessica dilarikan ke rumah sakit.

Jessica sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit dan menjalani operasi sebanyak 4 kali akibat luka bakar serius di tubuhnya.

"Di rumah sakit Sangihe sudah 3 kali jalani operasi, dan di Manado sekali. Jadi sudah 4 kali," kata Nurlince Sahambangu, tante dari Jessica ketika ditemui Tribunmanado.co.id, Jumat (19/10/2018) di RSUP Kandou.

Baca Juga : Persis Kasus FX Ong, Satu Keluarga Tewas Tak Wajar di Samosir, Istri Hamil dan Dua Anak Masih Balita!

Selama di rumah sakit, Jessica berdoa agar ibunya mendapat pengampunan dari Tuhan. Hal tersebut diceritakan oleh salah satu kerabat Jessica.

"Dia (Jessica) juga sudah mendoakan sang ibu agar diberi pengampunan oleh Tuhan," kata Nurlince Sahambangu, salah satu kerabat Jessica, Selasa (23/10/2018).

Kondisi Jessica sempat membaik setelah menjalani perawatan, namun dalam sepekan terakhir kondisinya terus menurun. Pada hari Selasa (23/10/2018), Jessica dikabarkan telah meninggal dunia.

"Laporan yang saya terima memang meninggal pada pukul 14.08 Wita," ujar Direktur RSUP Kandou Malalayang Jimmy Panelewen.

Pihak kepolisian kemudian menahan OS atas kasus kekerasan terhadap anak hingga meninggal dunia.

Peneliti sebut kekerasan pada anak dilakukan oleh orangtua

Orangtua digadang-gadang memiliki kewajiban untuk menyayangi dan mendidik anak-anak dengan baik. Orangtua perlu memahami bagaimana cara menangani anak.

Selama ini, banyak pihak menganggap bahwa orang asing yang paling berisiko tinggi melakukan kekerasan dan pelecehan pada anak.

Namun, sebuah penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang dianggap sebagai sosok paling dekat dengan anak ternyata juga paling banyak menyumbangkan kekerasan bagi anaknya.

Dikutip dari Time.com, menurut National Child Abuse and Neglect Data System (NCANDS), 71,8% kasus pelecehan anak atau kelalaian terjadi di tangan orang tua korban pada tahun 2015.

Peneliti asal Amerika juga mempelajari fenomena serangkaian kasus 28 anak yang menderita kekerasan fisik, penelantaran , penyiksaan, dan penganiayaan psikologis, seperti meneror dan mengisolasi.

Berjudul "Child Torture as a Form of Child Abuse," studi ini mencakup kasus-kasus di mana anak-anak diperlakukan tak manusiawi, seperti tak diberi makanan karena tengah dihukum, dipaksa minum air toilet, kelaparan kronis, dengan semua akses ke makanan di rumah terkunci, dicekik sampai pingsan, ditikam dengan pisau, dibakar, dan dipukul kepalanya dengan benda-benda logam dan tongkat bisbol.

Penelitian yang diterbitkan pada tahun 2014 dalam Journal of Child and Adolescent Trauma , menemukan bahwa 36 persen dari anak-anak ini meninggal akibat penganiayaan dari orangtuanya dan penyiksaan bisa berlangsung hingga delapan tahun.

Dikutip dari Psychology Today, para peneliti menemukan adanya perbedaan kontras antara pelecehan dengan penyiksaan.

Biasanya, pelecehan dilakukan atas dasar kemarahan yang berlebihan dan kehilangan kendali diri oleh orangtua, dimana mereka seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan anak.

Penyiksaan lebih lama dan dirancang untuk menetapkan dominasi dan kendali atas jiwa seorang anak. Penyiksaan dilakukan untuk "mematahkan" seseorang secara fisik dan psikologis.

Diperkirakan bahwa 1 hingga 2 persen anak-anak yang dievaluasi untuk pelecehan di AS sebenarnya merupakan kasus penyiksaan, dimana 93 persen anak-anak dipukuli, 21 persen mengalami patah tulang, 89 persen sangat terisolasi, 61 persen secara fisik terkendali, dan 89 persen dibatasi dari makanan atau air.

Baca Juga : Berita kesehatan akurat: Tidak atau Kurang Subur? Tenang, Ada Obatnya

Lebih lanjut, ancaman kematian yang spesifik dibuat menjadi 32 persen, dan hampir semua anak secara medis diabaikan, namun separuh memiliki riwayat rujukan sebelumnya untuk layanan perlindungan anak.

Seorang anak berusia 14 tahun yang diteliti dalam penelitian ini melaporkan dipaksa makan kecoak, laba-laba, dan serangga lain sebagai bentuk hukuman, termasuk upaya oleh keluarga untuk mencekoki tikus mati. Ayahnya mengikat tangannya di belakang punggungnya, menempelkan kantong plastik di atas kepala dan badannya, dan mengancam akan menenggelamkannya.

Ciri-ciri orangtua yang melakukan pelecehan atau kekerasan kepada anak

Peneliti studi penyiksaan anak yang bernama Barbara Knox mengungkapkan, bahwa sebagian besar pelau penyiksaan anak akan mengisolasi anaknya dari dunia luar.

89 persen anak korban penyiksaan diisolasi dari orang-orang di luar keluarga dekat dan 75 persen bahkan mengalami kurungan isolasi. Isolasi sosial ini biasanya melibatkan mencegah anak menghadiri sekolah atau penitipan anak. Isolasi itu biasanya disertai perlakuan kasar baik dari segi fisik dan mental kepada anak.

Dalam sebuah penelitian yang disebut "Invisible Children," Committe Child Abuse and Neglect (CCAN) dari North Carolina Pediatric Society menyelidiki apakah beberapa korban anak melarikan diri karena mereka belajar di rumah (homeschooling).

Para penulis studi ini berpendapat bahwa penganiayaan anak dapat hadir dengan dalih homeschooling, tetapi mereka juga mengakui bahwa menghubungkan kekerasan anak dengan homeschooling dapat menyebabkan diskriminasi , pelanggaran hak-hak orang tua, dan pelanggaran privasi.

Namun, homeschooling dapat menjadi sinyal bahwa orang tua memiliki pandangan yang sangat berbeda dari masyarakat lainnya tentang bagaimana anak-anak harus dididik.

Salah satu kemungkinan adalah bahwa beberapa orang akan memiliki pandangan yang lebih otoriter, yang mengarah ke lebih banyak kekerasan ketika mendisiplinkan atau mengendalikan anak-anak.

Mengapa orangtua tega menyiksa anak?

Sebelum tragedi yang menyiksa Jessica, dunia sempat digemparkan dengan beberapa kejadian mengerikan penyiksaan yang dilakukan orangtua kandung.

Sepasang suami istri bernama David Turpin dan Louise Turpin tega memenjarakan anaknya yang berjumlah 13 anak dan membiarkan mereka kelaparan. Bahkan, sang anak tidak diizinkan untuk menggunakan toilet, sehingga mereka hidup dengan kotorannya sendiri.

Penyiksaan yang dilakukan David dan Louise berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga anak mereka kurus kering.

Baca Juga : Seorang Pria di Cina Melamar Kekasih Dengan Mobil Lamborghini Namun Ditolak, Ini Alasannya

Tindakan suami istri tersebut akhirnya mendapat ganjaran dengan menjadi tahanan kepolisian.

Lalu, mengapa orangtua seperti OS atau David Turpin tega menyiksa anak sendiri?

Untuk kasus David, para peneliti menemukan adanya penyalahgunaan alkohol orang tua, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, atau kekerasan dalam rumah tangga. Namun, ternyata ada juga faktor dari kesehatan mental orangtua.

Menurut Psikolog trauma, Priscilla Dass-Braisford, mengatakan ada beberapa kondisi mental yang menyebabkan orangtua tega menyiksa anaknya sendiri.

"Dalam pengalaman saya biasanya ada psikopatologi pada orang tua. Mereka mungkin depresi, mereka bipolar, mereka skizofrenia,” tutur Priscilla.

Namun, faktor traumatis masa kecil yang dialami orangtua juga bisa membuat orangtua menjadi tega dengan anaknya.

“Beberapa orang tua sendiri mungkin mengalami pelecehan atau kekerasan saat masih anak-anak, meskipun saya mengatakannya dengan hati-hati karena itu bukan alasan untuk menyalahgunakan anak-anak Anda sendiri,” lanjutnya.

David Finkelhor, profesor sosiologi dan direktur Pusat Penelitian Kejahatan Terhadap Anak di Universitas New Hampshire, melihat dua profil diagnostik lain yang mungkin cocok untuk orang tua: kondisi delusional atau paranoid, yang dapat menyebabkan semua perilaku irasional atau kasar.

Ideologi yang salah arah mungkin menjadi faktor lain.

"Orang tua mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa mereka melindungi anak-anak mereka dari kondisi masyarakat yang buruk," kata Finkelhor.

"Atau bahwa anak-anak jahat dan perlu dihukum," lanjutnya.

Cara mendidik anak agar anak tumbuh bahagia

Sebagai orangtua, beberapa kasus penyiksaan anak yang dilakukan orangtua kandung tentu menyentak hati kita ya Moms. Terlebih penelitian yang menyebutkan bahwa kekerasan pada anak paling banyak dilakukan orangtua.

Baca Juga : Nia Ramadhani Bongkar Sifat Suaminya yang Tak Selalu Baik, Begini Ceritanya

Tentu sebagai orangtua cerdas, kita perlu introspeksi, ‘sudahkah kita mendidik dan menjaga anak dengan benar?’.

Moms, berikut beberapa hal yang berisi tips cara mendidik anak agar anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang bahagia.

1. Moms juga harus bahagia

Meskipun kita tidak bisa mengendalikan kebahagiaan anak-anak, kita bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri, Moms.

Anak-anak bisa menyerap dan meneladani segala sesuatu yang ditampakkan orangtuanya, begitu juga dengan suasana hati.

Orang tua yang bahagia cenderung memiliki anak yang bahagia, sementara anak-anak dari orang tua yang depresi menderita rata-rata dua kali tingkat depresi rata-rata.

Selain itu rupanya hubungan dengan pasangan pun rupanya juga memengaruhi.

Jika orang tua memiliki hubungan yang benar-benar baik dan berkomitmen, kebahagiaan anak itu sering secara alami mengikuti.

2. Biarkan anak mengalami sukses dan gagal

Dalam masa tumbuh kembangnya, mengalami kesuksesan dan kegagalan merupakan hal yang wajar.

Bahkan kedua hal ini pun masih lumrah terjadi pada individu yang sudah dewasa.

Kesalahan yang seringkali diperbuat oleh orangtua biasanya terlalu ikut campur dalam proses belajar anak.

Kesalahan besar yang dilakukan orang tua yang baik adalah berbuat terlalu banyak untuk anak-anak mereka.

Saat anak gagal misalnya, sebaiknya orangtua tidak langsung bereaksi dengan membantunya secara langsung dan total.

Biarkan anak berproses untuk mempelajari keterampilan baru dengan diberikan kesempatan.

Jangan lupa untuk selalu mengapresiasi pencapaian dengan ungkapan bahwa Moms bangga terhadap Si Kecil.

Baca Juga : Nia Ramadhani Bongkar Sifat Suaminya yang Tak Selalu Baik, Begini Ceritanya

Motivasi dan kalimat positif pun diperlukan selain untuk meningkatkan harga diri, semangat dan sikap optimisme Si Kecil.

Dengan demikian, secara tak langsung Moms pun telah berproses juga dalam mengambangkan suasana pengasuhan yang positif dan membuat anak bahagia.

3. Biasakan anak bersosialisasi

Cara yang paling efektif untuk membuat anak bahagia ialah dengan membuat Si Kecil merasa terhubung dengan lingkungan di sekitarnya.

Biasakan Si Kecil untuk banyak berinteraksi dengan sesamanya bahkan dengan makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan.

"Masa kecil yang penuh interaksi adalah kunci menuju kebahagiaan," kata Edward Hallowell, M.D., psikiater anak dan penulis The Childhood Roots of Adult Happiness.

Dr. Hallowell merujuk sebagai bukti berdasarkan Studi Longitudinal Nasional Kesehatan Remaja, yang melibatkan sekitar 90.000 remaja.

Dalam studi dijelaskan keterhubungan atau interaksi kuat dengan lingkungan memiliki pengaruh signifikan pada penurunan tekanan emosi dan bunuh diri.

Remaja-remaja tersebut menjadi minim perilaku negatif seperti merokok, minum, dan menggunakan narkoba.

Khusus bagi orangtua, kelekatan dengan anak patut untuk dijaga.

Baca Juga : Meghan Markle Alami Kecelakaan Fesyen Saat Kunjungan Kenegaraan, Publik Sebut Hal Ceroboh!

Berbagai perilaku sebagai ungkapan kasih sayang perlu ditunjukkan sejak bayi dan konsisten serta sesuai dengan usianya

Peluk bayi Moms sesering mungkin, tanggapi dengan empati pada tangisannya, tertawa bersama, dan berbagai aktivitas membahagiakan lainnya.

4. Biasakan Si Kecil Bersyukur 

Studi kebahagiaan secara konsisten membuktikan adanya hubungan perasaan bersyukur dengan kesejahteraan emosional atau kebahagiaan.

Penelitian di University of California menunjukkan bahwa orang-orang yang membuat "catatan syukur harian" atau "mingguan" akan merasa lebih optimis.

Selain itu mereka juga terlihat membuat lebih banyak kemajuan dan merasa lebih baik dalam menilai kehidupan meraka.

Untuk anak-anak, membuat jurnal mungkin tidak realistis.

Tetapi satu cara untuk menumbuhkan rasa syukur pada anak-anak adalah dengan meminta agar setiap anggota keluarga meluangkan waktu setiap hari untuk bersyukur.

Sebelum atau selama makan, misalnya, bagi umat muslim jangan lupa ajarkan anak untuk berucap "alhamdulillah" maupun bentuk ungkapan syukur lainnya.

Nah Moms, yuk didik Si Kecil agar menjadi pribadi yang bahagia dengan memerhatikan 4 hal di atas.