Nakita.id - Berulangkali kita membaca dan mendengar di media massa, kasus bullying atau kekerasan di sekolah maupun di lingkungan,sering kali muncul kepermukaan namun kurang mendapat perhatian dari pihak sekolah baik kepala sekolah maupun guru-guru bahkan orang tua sekalipun.
Kejadian bullying dianggap hal biasa dan bisa di selesaikan secara kekeluargaan. Padahal dampak atau trauma yang dialami anak anak korban bullying tidak akan terhenti hanya dengan terselesaikannya masalah tersebut. Selain menimbulkan korban baik psikis maupun jiwa bagi si anak, keluarga yang ditinggalkan pun ternyata masih berkepanjangan hingga kini. Seperti yang dialami Ibu Maria Agnes.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita menjadi peduli dengan lingkungan kita. Contohnya, bila ternyata anak kita merupakan korban, dengarkan apa yang ingin ia sampaikan (meskipun kesannya ‘sepele’), “aku gak mau sekolah… aku gak suka temanku… temanku jahat ”. Pada anak yang lebih kecil biasanya akan mengatakan : “temanku nakal”.
Menurut Psikolog Seto Mulyadi pada berbagai kesempatan, bila anak sudah mengatakan seperti hal di atas, berarti mereka sudah ‘cry for help’, meminta pertolongan, maka jadilah orang tua yang mau mendengarkan, memahami dan memberikan perhatian dengan penuh kasih sayang pada anak.
Bila terjadi di sekolah, ajarkan anak untuk berbicara dan terbuka pada orang dewasa di sekolah, misal : guru, wali kelas, guru BP, Kepala Sekolah. Lalu minta anak untuk tetap berada di kelompok, terutama di waktu yang tidak terawasi guru.
Latih anak untuk bersikap asertif pada banyak hal termasuk mengatakan pada ke pelaku pembully seperti "hentikan, saya tidak suka dengan perlakuan kamu” dan kemudian tinggalkan si pelaku.
Kepedihan yang dirasakan oleh Ibu Maria Agnes, meskipun terjadi pada anak SMA, bisa menjadi pengingat kita, betapa mengerikannya dampak kekerasan pada anak dimanapun. Berikut kisahnya;
Sudah setahun lebih, Maria Agnes memendam kesedihan setelah ditinggal pergi anaknya, Hilarius Christian Event Raharjo (15) selama-lamanya. Suasana duka pun masih sangat kental terasa di kediaman almarhum, Jalan Cipaku, Gang Melati, RT 02 RW 08, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Foto-foto Hilarius semasa hidupnya pun terpampang di beberapa bagian dinding rumah. Sesekali, Maria hanya bisa menangis jika teringat tentang kematian anaknya. Maria bersama suaminya, Vanansius Raharjo, hanya ingin keadilan di balik kasus kematian anak sulungnya itu.
Hilarius yang saat itu merupakan siswa kelas X SMA Budi Mulia tewas setelah terlibat pertarungan ala gladiator satu lawan satu dengan siswa dari sekolah SMA Mardi Yuana. Ayah korban, Vanansius menceritakan, Hilarius tewas setelah mengalami luka memar di bagian wajah serta pecahnya pembuluh darah di bagian kepala.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 Januari 2016 di sebuah lapangan yang terletak di SMA Negeri 7 Kota Bogor. "Anak saya waktu itu diajak untuk melihat pertandingn basket. Tapi ternyata, dia sudah disiapin oleh senior kakak kelasnya untuk bertarung dengan murid dari sekolah SMA Mardi Yuana," ucap Vanansius, saat ditemui di kediamannya, Kamis (14/9/2017).
Vanansius mengatakan, pertarungan ala gladiator atau dikenal dengan istilah "bom-boman" itu dilakukan menjelang pertandingan final bola basket antara SMA Budi Mulia dengan SMA Mardi Yuana.Kata Vanansius, tradisi "bom-boman" itu selalu dilakukan jika kedua sekolah tersebut bertemu dalam ajang kompetisi bola basket yang digelar setiap tahunnya.
Dirinya menyebut, ritual "bom-boman" tersebut melibatkan para senior dan alumni dari kedua sekolah itu. Korbannya adalah junior mereka yang masih duduk di kelas satu SMA. Para junior ini, lanjut Vanansius, dipaksa diadu fisiknya dengan berduel tangan kosong oleh para seniornya.
Lawannya adalah murid dari sekolah lain yang sebelumnya juga sudah disiapkan. "Kakak kelas ini dikoordinir sama alumni sekolah. Jegernya atau promotornya, ya alumni itu, yang mengelola kelas tiga. Mereka mencari anak-anak yang baru masuk untuk dipaksa berduel," kata Vanansius.
Ia menambahkan, tradisi "bom-boman" antar kedua sekolah itu sudah lama berlangsung dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Sebelum berduel, mereka mencari lapangan yang sepi. Hanya komunitas mereka saja yang bisa melihat pertarungan ala gladiator itu secara langsung.
"Saya dapat informasi itu dari semua orang yang saat itu ada di lokasi kejadian, termasuk dari teman anak saya. Acara (bom-boman, red) ini emang udah lama, tapi yang sampai tewas ya baru ini, anak saya. Setelah kejadian ini, baru pada tahu ternyata ada ajang seperti itu. Pihak sekolah dan guru juga tidak tahu awalnya," ungkapnya.
Sementara itu, Maria meminta agar keadilan bisa ditegakkan. Sebab, kata dia, meski pelaku utama yang menewaskan anaknya sudah dikeluarkan dari sekolah, namun hal itu belum dirasa cukup untuk memberikan efek jera. Selain itu, alumni yang menjadi promotor "bom-boman" juga tidak diketahui keberadaannya.
Beberapa siswa yang ikut terlibat pun hanya dikenai sanksi skors dari pihak sekolah."Ada 50 orang lebih yang menonton anak saya disiksa sampai sakratul maut. Divideokan oleh siswa-siswa yang menyaksikan," tutur Maria. Selain itu, ia bersama suami juga menolak ketika jasad Hilarius harus diotopsi. Bagi dia, hatinya akan lebih tersiksa lagi jika harus melihat jenazah putranya diotopsi.
"Dan harus disiksa lagi dengan otopsi. Bukankah saya berhak untuk menolak otopsi. Tapi saya inginkan supaya semua pelakunya dihukum," kata Maria. Putranya, sambung Maria, sempat ingin mundur dan tidak mau berkelahi namun pinggangnya ditendang. Hilarius, kata dia, berusaha bangkit dan mengalami kejang-kejang tapi terus dipukul kepalanya hingga meninggal.
"Hila meninggal di TKP. Di lapangan SMU Negeri 7 Indrapasta Bogor. (Pukulan di kepala) atas suruhan promotor dari SMA Mardi Yuana. Dia bilang, 'pukul Hila yang belum KO'," ujar Maria. Dia mengaku juga sudah memiliki bukti-bukti surat pernyataan dari para siswa yang ikut terlibat dan menyaksikan anaknya tewas.
Mereka mengakui bahwa Hilarius tewas karena dipukul dalam duel tersebut. Dengan bukti yang dimilikinya, ia dan suami berharap bisa mendapat keadilan. Sekarang, baik Maria maupun Vanansius hanya ingin peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi.Mereka berharap kasus yang merenggut nyawa Hilarius bisa menjadi pembelajaran oleh semua pihak.
Sebelumnya, Maria sempat mencurahkan perasaan sedihnya lewat akun Facebook pribadinya, Maria Agnes. Dalam postingan yang ditulisnya pada tanggal 12 September 2017, Maria memohon kepada Presiden Joko Widodo dapat menegakkan keadilan atas kasus yang merenggut nyawa anaknya.
(Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Maria Kisahkan Anaknya Dihajar Tanpa Ampun hingga Tewas dalam Duel ala Gladiator")
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR