Nakita.id.- Anak yang menderita SED bukan sekadar pemilih makanan. Dalam The British Journal of Clinical Child Psychology and Psychiatry disebutkan, anak yang menderita SED menunjukkan keengganan untuk mencoba makanan baru atau makanan yang belum pernah ia makan sebelumnya. Seolah-olah ia mengalami “fobia” terhadap makanan yang ditakuti tersebut.
Baca juga: Waspada Ternyata Ada Anak Yang Fobia Makanan Dampaknya Bisa Kekurangan Gizi
Anak hanya mau makan beberapa jenis makanan tertentu atau makan makanan yang dimasak dengan cara tertentu. Misalnya, hanya mau makan kentang goreng dari restoran A dan menolak kentang goreng yang tidak berasal dari restoran tersebut, meski telah dimasak atau diolah dengan cara yang sama. Contoh lain, anak menolak makan nasi dalam bentuk olahan apa pun seolah-olah ia “fobia” terhadap nasi.
Ciri lainnya, bila tiba waktu makan anak selalu rewel. Kalaupun mau makan, membutuhkan waktu lama sampai selesai, terkadang makanan tidak dihabiskan. Anak juga malas mengunyah dan menelan.
Sejak 2013, SED secara resmi ditambahkan ke dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 dan mendapat sebutan lain: Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID).
Penambahan ini berarti SED digolongkan sebagai salah satu jenis gangguan makan selektif seperti anoreksia dan bulimia. Buku mengenai klasifikasi standar gangguan mental itu diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan menjadi panduan umum bagi banyak praktisi kesehatan mental di seluruh dunia.
Menurut dr. Rika Oktarina Rony, SpA, MARS dari Bethsaida Hospital, Gading Serpong, Tangerang Selatan, penyebab SED biasanya bersifat organik, seperti: adanya gangguan menelan, gangguan makan, alergi terhadap makanan tertentu, masalah di usus atau pencernaan, rahang kecil, jumlah gigi sedikit sehingga sulit menelan, atau ada penyakit bawaan lain.
Baca juga: Apakah Terapi Makanan Dan Mengapa Anak Memerlukan Ini
Faktor psikologis, seperti: kondisi keluarga yang kurang harmonis, pengasuh yang emosional atau tidak sabar dalam menyuapi, dipaksa harus menghabiskan makanan yang disajikan, juga bisa memicu timbulnya SED. Anak menjadi takut atau menganggap makan sebagai aktivitas yang mencemaskan.
Kekhawatiran terbesar pada anak SED adalah ia akan kekurangan satu atau lebih zat gizi tertentu. Bagi anak yang menolak makan sayur, misalnya, bisa jadi ia akan kekurangan serat. Jika anak hanya mau makan makanan bergula, ia berisiko terhadap obesitas dan timbul masalah pada gigi.
Sementara anak yang tidak mau makan daging-dagingan berisiko kekurangan asam amino esensial yang hanya terdapat pada protein hewani. Padahal, kandungan ini penting bagi pertumbuhan sel-sel tubuh.
Di masa pertumbuhan, anak perlu mendapat asupan gizi lengkap yang bersumber dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Jika ia kekurangan satu atau lebih zat gizi, maka proses tumbuh kembangnya bisa terhambat.
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR