Nakita.id - Setiap orang pasti selalu ingin berbuat baik dan juga diperlakukan baik oleh lingkungan sekitarnya.
Bahkan, sejak kecil orangtua akan selalu memebri wejangan agar anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik hati.
Karena sesuai yang kita tahu, memiliki sifat baik hati akan memiliki banyak manfaat, baik untuk banyak orang maupun untuk diri sendiri.
Baca Juga : Dads yang Depresi Pascamelahirkan Dapat Menaikkan Tingkat Stres Keluarga, Ini Penjelasannya
Melansir dari Life Hack, seorang yang bersifat baik hati akan menambah energi positif dari dalam pikiran juga dari dalam hati.
Ia juga akan lebih bahagia dibandingkan orang-orang sekitarnya yang tidak memiliki kebaikan hati.
Lebih dari itu, banyak studi mengenai hal tersebut menghubungkan manfaat otak dan peningkatan emosional seseorang yang baik hati.
Baca Juga : Batal Konferensi Pers di Jakarta Terkait Prostitusi Online, Vanessa Angel Dikabarkan Jatuh Sakit
Mereka akan lebih banyak berpartisipasi dalam hal positif dan juga dermawan.
Sehingga perilaku mereka tersebut akan mendorongnya meningkatkan komunitas dan relasi mereka, juga mereka akan terhubung dengan banyak orang baik di sekitarnya.
Orang yang memiliki sifat baik, juga akan mengalami peningkatan hormon endorfin.
Ketika mereka berbuat baik, maka tingkat kesenangan dan kebahagiaan mereka di otak akan bereaksi, sehingga mereka akan merasakan positif dari dalam pikirannya.
Baca Juga : Alami Trauma Mendalam, Ifan Seventeen Dikabarkan Jatuh Sakit
Saat yang bersamaan, hormon oksitosin akan membanjiri tubuh, sehingga mampu meningkatkan stres dan berkontribusi pada rasa bahagia dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Menurut temuan studi di National Institute of Health oleh Jorge Moll, menunjukkan bahwa orang yang berbuat baik akan aktif dalam berpikir positif.
Mereka juga akan memiliki empati yang tinggi, kepercayaan, dan juga memiliki hubungan sosial yang baik dalam otaknya.
Mereka juga cenderung dekat dengan orang-orang yang juga memiliki energi positif setara.
Baca Juga : Krisis Identitas Bisa Berujung Depresi, Atasi Dengan 5 Cara Ini
Bahkan, dalam penelitian Norton pada 2009, orang yang memiliki sifat baik hati akan cenderung memikirkan kepentingan banyak orang ketimbang memikirkan kepentingan pribadinya.
Mereka akan lebih merasa bahagia, ketika melihat orang sekitarnya bahagia.
Oleh karena itu, diambil simpulan oleh salah satu studi komperehensif bahwa menjadi orang baik akan memiliki emosional yang stabil.
Orang baik akan murah hati dan mendapat tempat baik di lingkungan sekitarnya.
Hasilnya, kesehatan mereka akan meningkat sebesar 48 persen, dari biasanya.
Baca Juga : 5 Hal yang Bisa Menyebabkan Kita Hilang Ingatan, Salah Satunya Depresi
Lebih dari itu, orang yang baik hati akan memanen kebaikan pula.
Mereka yang konsisten melakukan kebaikan maka akan mendapat balasan perupa praktik kebaikan dari orang sekitarnya.
Dari konsistensi yang berulang tersebut, seseorang akan memiliki manfaat positif yang eksponensial.
Hal itu akan dipercaya dan dijadikan investasi bagi masa depan orang-orang yang berbuat baik.
Tetapi, hal tersebut berseberangan dengan orang-orang yang terlalu baik dalam bersikap.
Baca Juga : Depresi, Seorang Ayah Ajak Anaknya Gantung Diri, Ini Pihak yang Bisa Dihubungi Saat Terserang Depresi
Menurut riset yang diterbitkan oleh jurnal Nature Human Behavior, orang-orang yang baik biasanya peka terhadap ketidakadilan dan ketimpangan.
Ketika mereka melihat adanya ketidakadilan, orang- orang baik cenderung lebih tertekan dibanding orang egois.
Riset ini dipimpin oleh Dr Masahiko Haruno dengan meneliti apakah pola pikir 'pro-sosial' berkaitan dengan gejala klinis jangka panjang dari depresi.
Pola pikir 'pro-sosial' dalam riset ini didefinisikan sebagai kesediaan untuk mengorbankan diri demi kesetaraan.
Riset diikuti oleh hampir 350 orang yang melakukan tes kepribadian untuk menentukan apakah mereka termasuk individu 'pro-sosial' atau individualis.
Baca Juga : Fakta Bayi yang Dilempar dari Lantai 3 Mall Magelang, Begini Pengakuan Pelaku dan Kondisi Bayinya Kini
Periset juga mengukur keinginan peserta untuk berbagai uang yang mereka miliki dengan orang yang kurang beruntung.
Dengan memeriksa otak pro-sosial dan individualis menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (MRI), peneliti dapat melihat area otak mana yang diaktifkan selama situasi tertentu.
Ternyata, gambaran otak sangat berbeda antara kedua tipe kepribadian tersebut.
Saat diminta berbagi uang yang dimiliki, orang dengan pribadi pro-sosial menunjukkan aktivitas tinggi di amigdala, wilayah evolusi otak yang terkait dengan perasaan otomatis, termasuk stres.
Sementara itu, mereka yang berjiwa individualis mengalami peningkatan aktivasi amigdala hanya ketika orang lain menerima lebih banyak uang, lebih karena merasa iri hati.
Perbedaan juga terletak pada aktivitas hippocampus, daerah otak primitif lain yang terlibat dengan respons stres otomatis. Para peneliti kemudian melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kuesioner depresi umum yang disebut Beck Depression Inventory.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat apakah pola aktivitas otak ini dikaitkan dengan gejala depresi dalam dua minggu sebelumnya.
Hasil menunjukan, mereka yang memiliki jiwa prososial, dikaitkan dengan lebih banyak depresi.
Baca Juga : Ditanya 'Apakah Jatuh Cinta pada Diana', Jawaban Pangeran Charles Sederhana Namun Bikin Sang Putri Trauma!
Hasil yang sama juga ditunjukan ketika pemeriksaan ditindaklanjuti setahun kemudian.
Temuan ini membuat peneliti menyimpulkan mereka yang memiliki kepribadian yang dianggap baik oleh masyarakat lebih rentan mengalami depresi.
Ini terjadi karena mereka lebih cenderung mudah empati, merasa ikut bersalah atas hal-hal buruk yang terjadi, dan stres yang ekstrem.
Selain itu, kepekaan emosional ini terhubung ke daerah terdalam dan paling otomatis di otak — tempat yang mudah memicu depresi.
Baca Juga : Trauma Digerebek, Angel Lelga Justru Tanam Tumbuhan Penangkal Sihir di Rumahnya
Namun, hal ini jangan membuat kita berhenti untuk menjadi orang baik.
Dr. Mauricio Delgado, seorang ilmuwan saraf di Rutgers University, mengatakan amygdala dan hippocampus memang wilayah otak terkait stress dan sangat sensitif pada orang-orang dengan jiwa pro sosial yang tinggi.
Namun, ada banyak wilayah otak lainnya yang terkait dengan depresi, misalnya korteks prefrontal, wilayah otak yang terkait dengan pengaturan perasaan otomatis ini.
Dengan melatih proses otak tingkat tinggi (seperti pre-frontal cortex) melalui terapi bicara, mereka yang berjiwa pro-sosial dapat belajar mengendalikan dan memerangi emosi mereka yang lebih mendasar.
Saat kita semakin ahli menggunakan korteks pre-frontal untuk meredakan stres yang didorong oleh amigdala, semakin kecil kemungkinan kita mengalami depresi.
Rekap Perjalanan Bisnis 2024 TikTok, Tokopedia dan ShopTokopedia: Sukses Ciptakan Peluang dan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital
Source | : | Kompas.com,Life Hack |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR