"25 persen anak belum bisa ngomong atau delayed speech berada di gangguan THT. Normalnya pendengaran kita antara 0 sampai 25, ibaratnya kalau kita periksa mata minusnya tidak ada, tetapi kalau sudah dibawah 25 itu sudah mengalami gangguan pendengaran," jelas dr. Hably.
Kasus tuli kongenital di Indonesia cukup besar sekitar 5,000 bayi lahir dalam kondisi tuli dan memiliki risiko tuli bisu.
Akar masalah tuli kongenital berada di telinga dalam, ia berfungsi membantu keseimbangan dan menyalurkan suara ke sistem saraf pusat.
Pada anak yang mengalami tuli kongenital ia akan sulit mengolah informasi karena telinga bagian dalamnya tidak berfungsi.
Baca Juga : Penyakit Langka Diturunkan Secara Genetik, Jadi Alasan Si Kecil Perlu Jalani Newborn Screening
Selanjutnya berimbas pada keterlambatan bicara, perkembangan kemampuan berbahasa, gangguan komunikasi, dan gangguan proses belajar dan perkembangan kepandaian.
Sementara dari sisi psikologi anak merasa malu, depresi, menjauh dari teman-temannya, jelas dr. Hably.
Kenapa anak bisa mengalami tuli kongenital?
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya, menurut Joint Committee on Infant Hearing tahun 1990, adalah riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran bawaan, riwayat infeksi prenatal (torchs, rubella, sitomegalovirus).
"Contohnya, yang lagi ngehits sekarang rubella. Jadi rubella itu kaya campak. Jadi waktu ibu hamil terutama trisemester pertama itu terserang virusnya jadi badannya demam, terus bintik-bintik merah, virusnya berjalan masuk ke janinnya sehingga perkembangan telinga yang dibentuk usia trisemester awal terganggu," jelas dr. Hably.
Penulis | : | Cecilia Ardisty |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR