Nakita.id - Pengajuan dispensasi nikah seolah tak asing lagi di Indonesia.
Banyak pasangan yang berusia dini mengajukan dispensasi pernikahan ke pemerintah agar bisa menikah di bawah usia yang telah ditentukan.
Seperti puluhan pelajar di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta yang berbondong-bondong mengajukan dispensasi menikah.
Faktor utama yang menjadi penyebabnya ialah karena mengalami kehamilan di luar nikah.
Baca Juga : I Am an ActiFE Mom, In Control, and Protected
Humas Pengadilan Agama Kabupaten Gunung Kidul Barwanto mengatakan, tahun 2018 ada 79 pasangan yang mengajukan dispensasi menikah dini ke pengadilan agama, tetapi yang diberikan surat dispensasi 77 pasangan.
Tahun 2019, sudah ada 10 pasangan yang mengajukan dispensasi untuk menikah karena usianya belum cukup.
Kasus yang paling banyak ditangani biasanya mereka yang melakukan pernikahan dini karena putus sekolah di tingkat sekolah menengah pertama (SMP).
Kemudian, kerja di luar daerah yang jauh dari keluarganya.
Selain itu, mereka juga ada yang masih pelajar. "Jumlah pelajar dan yang sudah kerja 50:50," katanya saat ditemui dikantornya Jumat (5/4/2019).
Dijelaskannya, sebagian di antaranya mengaku sudah hamil terlebih dahulu sebelum menikah. "Rata-rata sudah hamil duluan," ujarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (P3AKBPD) Gunung Kidul Sudjoko menambahkan, pihaknya terus berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mencegah pernikahan dini.
Ada beberapa faktor pemicu, di antaranya dari hamil di luar nikah hingga persoalan ekonomi.
Selain itu karena faktor pendidikan dan kemiskinan sehingga banyak anak berhenti sekolah dan menikah.
Dispensasi rata-rata diajukan oleh pria berumur di bawah 19 tahun dan wanita berumur di bawah 16 tahun.
"Faktor dari keluarga ada karena senang melihat anaknya segera menikah," ucapnya.
Terkait dengan persoalan tersebut, pihaknya bekerja sama sengan beberapa elemen masyarakat untuk berkomitmen meningkatkan penyadaran sekaligus mendukung terwujudnya Kabupaten Layak Anak (KLA).
Lebih dari 650 juta perempuan di dunia ini menikah saat mereka masih kanak-kanak. Dari fakta tersebut, benar bila dikatakan bahwa 12 juta anak perempuan menikah saat usianya belum genap 18 tahun.
Dari mereka yang menikah di bawah umur, mereka memiliki latar belakang kecenderungan tidak menempuh jenjang pendidikan formal sekolah dan berasal dari keluarga kurang mampu.
Setelah menikah, berbagai dampak muncul.
Lima dari delapan kasus pernikahan di bawah umur selalu mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setelah atau bahkan sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun.
Baca Juga : Terjadi Lagi Pernikahan Dini Siswi SMP Dinikahi Siswa SD, Orangtua Beberkan Alasan Menikahkan Anak-anaknya
Dari dampak tersebut, The United Nations Children's Fund (UNICEF) melaporkan bahwa perempuan yang menikah di usia sebelum 18 tahun lebih rentan meninggal dunia karena berbagai penyakit.
Dua di antaranya yang paling kerap dijumpai, yakni karena komplikasi kehamilan dan persalinan di bawah usia 20 tahun.
Sesuai standar kesehatan, melahirkan di bawah usia 20 tahun memang memiliki berbagai dampak, kemungkinan bayinya lahir dalam keadaan meninggal dunia, atau bahkan calon bayinya meninggal sebelum usia kehamilannya genap satu bulan.
Tentu dampak tersebut tak hanya berbahaya bagi bayi, tetapi juga bagi ibu yang mengandungnya. Selain permasalahan kesehatan, hal tersebut juga berdampak pada mentalnya, terlebih usianya belum terlalu matang untuk menghadapi masalah berat ini.
Bukti tersebut merujuk dengan adanya fenomena perempuan yang menikah di bawah umur akan memutuskan berhenti sekoalh dan kemudian ia akan mengandung setelah menikah.
Banyak juga kasus bahwa perempuan yang menikah di usia yang kurang ideal tersebut memiliki risiko kematian tinggi.
Menurut data yang dirangkum UNICEF pada 2009, 70.000 kematian ibu hamil di usia muda tercatat setiap tahunnya.
Mereka adalah perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun.
Ini karena kesehatan mereka belum sempurna dan belum mencapai tingkat kestabilan untuk hamil.
Bahkan, di antaranya juga mengandung bayi yang kurang sehat bahkan meninggal dunia, sebelum atau setelah melahirkan.
Ini sangat bisa dinalar, karena menurut segi kesehatan, anak dengan usia kurang dari 18 tahun akan mengandung bayi yang memiliki berat badan rendah dan perkembangan fisik yang lambat serta kekurangan gizi karena belum sempurnanya kondisi rahim perempuan di bawah umur.
Organ reproduksi anak-anak di bawah umur juga sangat rentan terserang penyakit bila belum berfungsi sesuai kadarnya.
Lain dari pada itu, pengantin anak perempuan juga memiliki risiko kekerasan, pelecehan bahkan eksploitasi, yang akhirnya pernikahan anak tersebut menjadi jurang pemisah dari keluarga bahkan teman-teman sebayanya.
Mereka tidak memiliki kebebasan dalam berpartisipasi dan berkegiatan dalam bermasyarakat yang akan berpengaruh bagi mental dan fisiknya.
Pada akhirnya, mereka yang hamil karena pernikahan dini akan lebih rentan terisiko mengalami HIV / AIDS bahkan kematian.
Mereka juga akan lebih depresi karena berbagai tekanan mental yang harus dirasakan sehari-hari.
Mereka sangat berpeluang kecil untuk melanjutkan hidup bahkan hidup dengan bahagia, meski berkecukupan secara ekonomi.
Dalam hal ini, menikah yang merupakan norma sosial dan bahkan adat-istiadat menjadi muncul diskriminasi gender.
Terus mendorong anak-anak berusia belia memiliki pemikiran bahwa menikah di bawah usia 18 tahun merupakan hal yang wajar dan juga tidak memiliki pengaruh besar, melihat keadaan dan lingkungan sosialnya.
Meski jumlah yang telah dijelaskan tadi termasuk besar, pernikahan di bawah umur mengalami penurunan hingga 15 persen dalam dekade terakhir.
Tetapi, UNICEF terus melakukan upaya untuk mengakhiri praktik dan kebiasaan salah ini untuk mencapai target Sustainable Development Goals yang harus segera terealisasi.
Berbagai alasannya berakhir pada garis lurus, bahwa lain karena alasan ekonomi keluarga, sehingga anaknya dinikahkan dengan orang yang memiliki segi materi lebih baik.
Juga untuk mengurangi beban perekonomian keluarga bahkan diharapkan dapat membantu ekonomi keluarga.
Tentu hal ini bukan hal mudah bagi mereka, terutama perempuan.
Sebagaimana mestinya mereka harus menikmati masa mudanya, justru terenggut dengan pemikiran berat yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya di usia yang sangat belia.
Baca Juga : Pernikahan Dini Bukan Solusi Hindari Zina, Ini Risiko dan Solusinya
Hal tersebut tentu akan sangat mengganggu bahkan berisiko bagi mentalnya.
Adanya berbagai fenomena tersebut membuat UNICEF terus berusaha memeluk rakyat kecil dan juga rakyat yang masih berparadigma bahwa pernikahan di usia muda akan lebih bisa memperbaiki keperluan ekonomi keluarga.
UNICEF berharap keluarga memiliki peran penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya.
Juga untuk mendukung berbagai faktor mental dan sosial serta kesehatan anak-anak natinya.
Misalnya, anak bisa diarahkan untuk bersosialisasi sesuai dengan usianya, meningkatkan kesehatan mereka karena organ reproduksinya bekerja dengan baik dan mencapai sempurna, juga memperbaiki tingkat pendidikan.
Selain UNICEF, keluarga harus memiliki pemikiran sejak dini, bahkan sejak anaknya lahir, bahwa tak ada yang lebih penting selain menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita bagi anak-anak, dengan berbagai dukungan serta adanya motivasi yang diberikan orangtua.
Kontribusi dan peran orangtua dalam mengarahkan juga memberi pendidikan bagi anak-anaknya merupakan kunci penting menekan angka pernikahan dini juga berbagai risiko penyakit yang bahkan berakhir kematian.
For the Greater Good, For Life: Komitmen ParagonCorp Berikan Dampak Bermakna, Demi Masa Depan yang Lebih Baik Bagi Generasi Mendatang
Source | : | Kompas.com,children health,nakita.id |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR