Nakita.id - Happy Salma memutuskan untuk tinggal di Bali sejak resmi menikah dengan suaminya, Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa pada 3 Oktober 2010 lalu.
Dari pernikahannya dengan pria yang kerap dipanggil Tjok Gus tersebut, Happy Salma dikaruniai dua orang anak yang bernama Tjokorda Sri Kinandari Kerthyasa dan Tjokorda Ngurah Rayidaru Kerthyasa.
Suami Happy Salma ini memiliki darah Bali-Australia dan masih keturunan Raja Ubud, Bali.
Baca Juga: Berenang Saat Hamil Bikin Tidur Semakin Nyenyak, Ini Hal-Hal yang Harus Moms Perhatikan
Meski kini menjadi anggota keluarga ningrat, Happy Salma rupanya selalu berpenampilan sebagai wanita Bali yang sederhana dan bersahaja.
Kediamannya pun tidak terlalu mewah, namun kental dengan unsur etnik Bali.
Yang cukup mengejutkan adalah, halaman belakang rumah Happy Salma terlihat seperti rumah di kampung.
Taman belakang ini terlihat seperti kebun biasa dan bahkan ada kandang ayam juga.
Di dalam kandang tersebut, terlihat beberapa ayam yang dipelihara oleh anaknya, Kinandari.
Baca Juga: Panduan Pemberian ASI 9 Bulan, Ini Jumlah Takaran Pas dan Sederet Manfaatnya Bagi Ibu Menyusui
Bahkan baru-baru ini, Happy Salma memperlihatkan ekspresi bahagia sang anak ketika ayamnya mulai bertelur.
Pasalnya, telur tersebut merupakan telur pertama yang dipanen Kinan dari ayam peliharaannya.
Tampak di dalam kandang, ada empat ekor ayam kate.
Kinan pun dengan penuh keriangan memamerkan telur tersebut ke arah kamera.
Meski memelihara ayam terdengar menyenangkan, namun tersimpan risiko yang cukup besar lo, Moms.
Terlebih jika letak kandang ayam terlalu dekat dengan rumah utama.
Melansir dari Kompas.com, pakar penyakit menular di Australia mengatakan bahwa hobi memelihara ternak di belakang rumah atau yang kandangnya berdekatan dengan rumah bisa memicu bom waktu penyebaran wabah penyakit.
Direktur penelitian lembaga studi CSIRO di Australia, Paul De Barro, mengatakan bahwa wabah penyakit yang dibawa ayam, babi, atau kambing berisiko tinggi mengancam jiwa manusia.
Hewan peliharaan, khususnya di pinggiran kota dan kota, bisa terpapar hewan liar seperti kelelawar.
Baca Juga: Baim Wong Minta Izin Bertemu Marshanda, Begini Reaksi Paula Verhoeven yang Jadi Sorotan
Kelelawar inilah yang membawa penyakit seperti virus Hendra atau Nipah.
"Ketika populasi urban menyebar, mereka pindah ke area hutan, area alami. Dan karena itu kita semakin dekat dekat dengan hewan liar," katanya kepada ABC.
Perubahan iklim juga dianggap sebagai faktor pemicu, dimana kita menyaksikan hewan-hewan telah mengubah perilaku mereka.
Misalnya di perkotaan semakin sering terlihat kelelawar terbang padahal 50 tahun lalu hal ini tidak dijumpai.
"Ketika kita mendapatkan perubahan ini, risiko penyakit dari hewan ke manusia semakin meningkat," ujar dia.
Masih menurut Barro, risiko penyebaran penyakit dari hewan ke manusia juga bisa dialami mereka yang tinggal di perkotaan.
Misalnya di Australia ketika ada wabah flu burung, pihak berwenang sulit mendeteksi dari mana asalnya.
Sebab tidak ada pendataan kepemilikan hewan di negara itu.
Hal semacam inilah yang menurut Barro membuat wabah penyakit sulit dibendung.
"Yang tidak kita ketahui adalah kapan (wabah penyakit) muncul, kita tidak tahu frekuensinya, dan kita bahkan tidak tahu skala atau konsekuensinya," katanya.
"Bisa jadi ada beberapa orang yang jadi korban atau mungkin ratusan orang meninggal."
Baca Juga: Saingi Raffi Ahmad, Vlogger ini Bangun Rumah dengan Basement yang Bisa Tampung 26 Mobil
Barro menambahkan, para ahli masih belum bisa memahami bagaimana sebuah penyakit bisa berpindah dari hewan liar ke hewan peliharaan kemudian berakhir di manusia.
Menurut Barro, di Australia memang jarang terjadi wabah, namun di Asia Tenggara hal ini kerap terjadi lantaran banyaknya warga yang memelihara hewan ternak di sekitar rumah.
"Di sebelah utara kita adalah 'wilayah panas' Asia, yaitu Asia Tenggara di mana sering terjadi penyebaran wabah penyakit karena ada warga hidup berdampingan dengan babi dan unggas dan hewan liar lainnya," katanya.
Source | : | Instagram,kompas,GridPop |
Penulis | : | Kunthi Kristyani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR