Nakita.id - Kanker Limfoma Hodgkin atau kanker yang menyerang kelenjar getah bening mungkin masih asing di telinga kita, bukan?
Nah, kanker ini biasanya menyerang kelenjar getah bening yang terletak di leher dan kepala, dan kanker yang satu ini juga termasuk dalam kenker darah.
Getah bening atau sistem limfatik terdiri dari kelenjar dan pembuluh yang tersebar di seluruh bagian tubuh, dan memiliki peran dalam mengontrol sistem kekebalan tubuh.
Baca Juga: Ustaz Arifin Ilham Meninggal Kelenjar Getah Bening, Bumbu Dapur Murah Ini Bisa Mencegahnya
Pada limfoma ini, gejala dapat meliputi gatal-gatal, demam, lemas, berkeringat pada malam hari.
Selain itu ada pembesaran pada organ limpa, berat badan menurun, batuk, sesak napas, dan nyeri pada dada.
Limfoma jenis ini disebabkan oleh sel kanker yang berkembang pada sistem limfatik.
Sel kanker berawal dari mutasi pada sel, sehingga sel berkembang secara tidak terkendali.
Berbagai jenis zat kimia seperti benzena, asbes, dan berbagai jenis karsinogenik harus dihindari untuk mencegah terjadinya kanker jenis ini.
Polusi pun bisa ditengarai sebagai penyebab dari kanker jenis ini karena daerah yang paling banyak terkena penyakit ini ialah daerah tertinggal yang tingkat polutannya tinggi.
Insiden Limfoma Hodgkin biasanya memiliki dua puncak yaitu pada saat usia dewasa muda (20-24 tahun) dan lanjut usia (75-79 tahun).
Data Globocan 2018 menunjukkan 79.990 kasus baru dengan 26.167 kematian pada tahun
2018 diseluruh dunia.
Di Indonesia terdapat 1.047 kasus baru dan 574 orang meninggal pada tahun 2018.
Dan menurut ahlinya kanker yang satu ini banyak menyerang laki-laki.
Baca Juga: Ranza Ferdian Meninggal karena Sakit Kelenjar Getah Bening, Ini Makanan yang dapat Mencegahnya!
"Sebenarnya mungkin itu semua karena laki-laki lebih banyak terpapar zat-zat tidak baik saat sedang bekerja, apa lagi di luar ruangan," ujar Dr. dr. Tubagus Djumhana Atmakusuma, Sp.PD-KHOM, FINASIM (Ketua PHTDI dan PERHOMPEDIN).
Beliau memberikan paparannya di acara seminar media yang terselenggara atas kerjasama Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI), Persatuan Hematologi-Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN), Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) dan PT. Takeda Indonesia.
Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, Dokter Spesialis Hematologi Onkologi Medik
RSCM menjelaskan bahwa kanker ini punya angka kesembuhan yang tinggi.
“Limfoma Hodgkin memiliki angka kesembuhan yang tinggi. Meski demikian, masih ada kemungkinan kecil (10-30%) kambuh.
"Pengobatan Limfoma Hodgkin kambuh adalah kemoterapi dosis tinggi yang dilanjutkan dengan transplantasi sumsum tulang."
"Regimen kemoterapi untuk kasus Limfoma hodgkin kambuh tidak banyak mengalami perubahan dalam 30 tahun terakhir ini." tambahnya.
Beliau juga mengatakan bahwa transplantasi sumsum tulang juga tidak selalu bisa dilakukan sebab ada masalah finansial dan juga ketidakmampuan fisik terutama bagi pasien ujia lanjut.
Pada seminar ini seorang survivor kanker Limforma Hodgkin juga menceritakan kisahnya sembuh dari kanker ganas ini.
“Perjalanan penyakitku berawal tahun 2013, awalnya dari sakit demam tinggi dan muncul
benjolan kecil di leher, terus aku didiagnosis sakit TBC, pengobatannya pun jadi salah dan kondisi aku semakin memburuk." ujar Intan Khasanah, survivor kanker Limfoma Hodgkin.
Sampai akhirnya Intan mendapatkan benjolan di leher semakin membesar dan sesak di dada.
"Benjolan di leher membesar dan sesak di dada, terasa lemas, dan kelelahan
ekstrim. Setelah dilakukan pengangkatan benjolan di leher, diagnosa aku akhirnya
ditegakkan bahwa saya terkena Kanker Limfoma Hodgkin stadium 4.” tambahnya.
Akhirnya Intan Khasanah menjalani beberapa pengobatan medis hingga tahun 2019 sebanyak 26 kali kemoterapi.
Itu dibagi menjadi 6 regimen kemoterapi ABVD, lalu diulang kembali karena yang sebelumnya kurang maksimal.
Lalu 1 kali dilakukan pemeriksaan regimen kepoterapi DHAP, radiasi, dan operasi.
"Setelah itu semua penyakitku masih kambuh dan akhirnya periksa CD30, hasilnya hodgkin limfoma saya CD30 positif, sehingga bisa diberikan targeted therapy terkini brentuximab vedotin" kenang Intan.
Intan pun sudah dinyatakan remisi total setelah 9 kali berobat dengan BV atau inovatif baru yang dibawa oleh Takeda Indonesia untuk dunia medis tanah air.
Baca Juga: Bukan Hanya Moms, Baby Blues Juga Bisa Menyerang Dads Pasca Si Kecil Lahir Lho!
"Efek yang dirasakan juga lebih minim dibandingkan dengan obat kemoterapi sebelumnya,” terangnya.
“Untuk para pejuang kanker, jika memang diagnosa sudah ditegakkan, jalani saja
pengobatannya sembari tetap melakukan aktivitas seperti biasa sesuai kemampuan karena
kanker bukan akhir dunia."
"Justru kanker adalah tanda bahwa kamu spesial dan kuat untuk mampu melawan dan menaklukkannya,” pungkas Intan.
Pada acara ini para dokter membeberkan inovatif baru yang dibawa oleh Takeda Indonesia untuk pasien kanker.
Di mana perawatan ini sudah berhasil di pasien dan memiliki harga yang masih bisa terjangkau serta memiliki efek yang minim.
“Saat ini terdapat inovasi pengobatan non transplantasi dengan Antibody Drug Conjugate
(ADC) yang dikategorikan sebagai terapi bertarget."
"Obat pintar ini berbeda dengan kemoterapi karena mampu mengenali sel Limfoma Hodgkin melalui ikatan antara antibodi monoklonal anti-CD30 dengan CD30 yang berada di permukaan sel Limfoma Hodgkin."
"Obat pintar ini merupakan kombinasi antibodi dan zat sitotoksik yang disebut ADC. ADC ini
mengandung dua komponen yaitu antibodi monoklonal anti-CD30 yang dinamakan
Brentuximab dan monomethyl auristatin E (MMAE) yang merupakan agen anti-neoplastik
sintetik dan dinamakan Vedotin. Sehingga obat pintar ini diberi nama Brentuximab Vedotin
(BV),” tambahnya.
BV sendiri diklaim bekerja dengan cara berikatan dengan CD30 di permukaan sel Limfoma Hodgkin untuk masuk ke dalam sel.
Dan nantinya mereka akan menghentikan siklus kehidupan sel sehingga terjadi apoptosis sel atau kematian sel.
"Dengan demikian, obat pintar ini bekerja dengan mengenali dan menghancurkan hanya sel Limfoma Hodgkin dan tidak menghancurkan sel lain, sehingga efek samping yang ditimbulkannya relatif lebih ringan dibandingkan kemoterapi pada umumnya.” tandas Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, Dokter Spesialis Hematologi Onkologi Medik RSCM.
Penulis | : | Rachel Anastasia Agustina |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR