Nakita.id - Pandemi virus corona masih menjadi momok menakutkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pada Jumat (10/4/2020), tercatat jumlah kasus positif virus corona menyentuh angka 3.293 dengan jumlah sembuh 252 orang, sementara korban meninggal dunia 280 orang.
Jumlah terbanyak berada di DKI Jakarta, dengan total kasus 1.706 orang, diikuti Jawa Barat dengan jumlah 376 orang.
Mulai hari ini, Jakarta sudah menerapkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar demi menekan angka penularan virus corona.
Jawa Barat juga dikabarkan mengajukan hal serupa mengingat daerah tersebut ada di posisi dua terbanyak kasus Covid-19.
Seperti kita tahu, Indonesia tidak melakukan lockdown dan memilih melakukan penanggulangan virus corona melalui rapid test.
Namun, tidak semua orang dianjurkan melakukan rapid test, melainkan hanya ODP dan PDP atau mereka yang berkontak langsung dengan pasien positif.
Melansir dari kanal Youtube 'Deddy Corbuzier', seorang dokter spesialis paru mengungkap hal mengejutkan tentang rapid test ini.
Tidak lain adalah dr. Erlina Burhan, S.p.P(K) yang menjadi narasumber Deddy Corbuzier membahas virus corona.
Deddy menyinggung angka kematian Covid-19 di Indonesia yang mencapai 10 persen, lebih tinggi dari negara lain yang hanya 4-5 persen.
"Kenapa bisa 10 persen? Karena kita under detection (tidak terdeteksi), banyak yang bilang contoh itu Korea Selatan, mereka tidak melakukan pembatasan tapi mereka mendeteksi banyak banget," kata dr. Erlina.
Deddy kemudian mengungkit ucapan dr. Erlina tentang membeli rapid test hanya membuang-buang uang saja.
Dokter Erlina Burhan kemudian mengatakan kalau alat yang dipakai di Korea Selatan bukanlah rapid test, tapi swab test menggunakan PCR.
"Di Korea pakai PCR, jadi menurut saya lebih baik PCR ini yang diperbanyak," kata dr. Erina.
"Karena nggak semua orang bisa drive thru, artinya pakai mobil itu hanya untuk kelompok tertentu, kita bikin posko istilahnya, pelayannnya gratis tinggal mangap (buka mulut), nanti ada data," jelasnya.
Ia pun mengemukakan alasan kenapa rapid test dinilai tidak efektif untuk mendeteksi Covid-19 di Indonesia.
"Kalau saya ditanya, bersama teman-teman di perhimpunan, organisasi profesi dokter-dokter, kita mengatakan ini kadung (terlanjur) udah dibeli," kata dr. Erlina.
"Kalau kadung sudah dibeli artinya dokter mengatakan ini tidak berguna dong?" potong Deddy.
"Kalau saya pribadi dan perhimpunan mengatakan lebih baik PCR yang diperbanyak, dibanding rapid test ini, karena dia men-detect antibodi, dan antibodi itu terbentuk enggak dari awal, setelah 7 hari atau setelah ada gejala," jelas dr. Erlina.
Karena baru bisa mendeteksi ketika gejala sudah muncul itulah, dr. Erlina menilai kalau alat tersebut kurang efektif.
"Kalau positif juga belum tentu Covid-19, bisa aja corona biasa, soalnya alurnya kalau positif diuji PCR, kalau negatif diulang lagi, nah kalau saya berpikir ini kalau diulang ujung-ujungnya PCR kan nambah lagi biaya, waktu, mestinya PCR diperbanyak," tukasnya.
Apa Itu Silent Treatment? Kebiasaan Revand Narya yang Membuatnya Digugat Cerai Istri
Source | : | YouTube |
Penulis | : | Diah Puspita Ningrum |
Editor | : | Diah Puspita Ningrum |
KOMENTAR