Nakita.id - Pesona Masjid Agung Banten menjadi Program Belajar dari Rumah TVRI yang tayang pada Senin 27 April 2020.
Akibat wabah virus corona Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggandeng stasiun TVRI untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar di rumah.
TVRI kini setiap harinya menampilkan materi pelajaran yang wajib ditonton para siswa baik dari jenjang SD hingga SMA.
Nah pada Senin (27/04/2020) hari ini, materi yang akan disajikan adalah pesona masjid agung Banten.
Baca Juga: Live Streaming TVRI dan Jadwal Lengkap Belajar dari Rumah Jenjang SD-SMA Senin 27 April 2020
Materi ini diperuntuhkan bagi siswa yang duduk di jenjang SMP dan sederajat.
Materi masjid agung banten ini akan ditayangkan pukul 09.30 WIB pagi hari.
Ringkasan materi Masjid Agung Banten program belajar dari rumah TVRI ini bisa memudahkan untuk memahami tentang sejarah dan juga agama.
Nah berikut ringkasan materi Masjid Agung Banten program belajar dari rumah TVRI.
Masjid Agung Banten merupakan salah satu bangunan bersejarah di Indonesia.
Bagaimana tidak, masjid ini diklaim sebagai salah satu masjid yang paling tua di seluruh Indonesia.
Masjid ini awal mula dibangun oleh putra sunan Gunung Jati bernama Sultan Hasanuddin.
Awal mula masjid ini dibangun terjadi sekitar tahun 1552-1570 masehi.
Baca Juga: Rangkuman Dokumenter Gerabah Ouw Sempe Balanga, Asal-usul Kerajinan Favorit Wisatawan Mancanegara
Masjid ini terbilang sangat luas, pasalnya bangunannya berdiri diatas lahan sekitar 1,3 hektar.
Sementara luas kompleks bangunan ini ada sekitar 2 hektar yang disekelilingnya di tutup dengan tembok besar berukuran 1 meter kurang lebih.
Pada zaman dulu, masjid Banten kerap menjadi sorotan karena bentuk masjid yang unik dengan menara menyerupai mercusuar.
Pasalnya saat itu masjid yang ada di Indonesia belum banyak dibangun dengan menara seperti itu.
Menara di Masjid Agung Banten ternyata juga bisa dinaiki loh, jika berada di puncaknya maka seorang pengunjung akan disuguhkan pemandangan pantai yang berjarak kurang lebih hanya sekitar 1,5 kilometer saja.
Untuk mencapai puncaknya seseorang harus dengan sabar menaiki kurang lebih 83 anak tangga, dan lorong sempit yang hanya muat satu orang saja.
Ringkasan materi Masjid Agung Banten program belajar di rumah TVRI lainnya adalah tentang arsitekstur di masjid tersebut.
Tata bangunan masjid mendapat pengaruh dari tiga arsitek yang memiliki latar belakang berbeda.
Arsitek pertama adalah Raden Sepat yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Raden Sepat juga terlibat dalam pembangunan Masjid Agung Demak dan Masjid Ciptarasa Cirebon.
Arsitek kedua berasal dari negeri Cina, yakni Tjek Ban Tjut.
Arsitek ini memberikan pengaruh kuat pada bentuk atap masjid bersusun lima layaknya pagoda Cina.
Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna sebagai penghargaan atas jasanya dalam membangun masjid.
Arsitek ketiga adalah seorang Belanda yang kabur dari Batavia ke Banten, Hendrik Lucaz Cardeei.
Arsitek berstatus mualaf tersebut memberikan pengaruh pada bentuk menara layaknya mercusuar di Negeri Kincir Angin.
Lucaz pun mendapat gelar kehormatan Pangeran Wiraguna.
Dahulu, menara tersebut digunakan sebagai tempat untuk melakukan adzan.
Ciri khas lainnya adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima yang menyerupai pagoda China hasil desain seorang arsitek Cina bernama Tjek Ban Tjut.
Selain menara, terdapat sebuah konstruksi tembok persegi delapan yang dikenal dengan nama istiwa, bencet atau mizwalah yang digunakan sebagai pengukur waktu dengan memanfaatkan bayangan akibat sinar matahari.
Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Bangunan masjid ini ditopang oleh dua puluh empat tiang (soko guru), empat tiang utama terletak pada bagian tengah ruangan.
Pada bagian bawahnya terdapat empat buah umpak batu berbentuk buah labu.
Nah itulah ringkasan materi Masjid Agung Banten program belajar dari rumah TVRI Senin 27 April 2020.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Source | : | tribunnews |
Penulis | : | Shinta Dwi Ayu |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR