Tak hanya soal waktu yang panjang dan biaya yang tak sedikit untuk mencetak seorang dokter, butuh bakat, panggilan jiwa, dan kemauan mengabdi.
Ia mengatakan, sesungguhnya para dokter seperti dirinya memiliki pilihan untuk menolak tugas merawat pasien Covid-19.
Namun karena rasa pengabdian, panggilan ini tidak mungkin diabaikan.
"Saya punya pilihan kok untuk tidak melayani pasien, 'Saya sudah lelah', gitu bisa saja kan?
Tapikan jiwa pengabdian. Kalau saya kabur, terus siapa? Orang dokter paru kurang, dokter penyakit kurang.
Itu Wisma Atlet bayangin 5 tower dokternya cuma berapa orang, gila-gilaan itu," ucap Eva.
Hadapi tuduhan menyakitkan
Tak hanya menghadapi situasi krisis, para dokter, kata Eva, juga harus menghadapi tuduhan konspirasi yang dilayangkan terhadap mereka dan pihak rumah sakit.
Menurut Eva, ada pasien yang menolak diberitahu jika dirinya positif Covid-19.
Tidak menerima keadaan, ada pula pasien yang menuduh dokter dan rumah sakit merekayasa hasil tes agar bisa mengeruk keuntungan.
"Mereka itu sudah curiga, disangkanya hasilnya direkayasa, dibikin positif supaya dokternya dapet duit Rp 50 juta per orang.
Baca Juga: Miliki Gejala yang Sama, Ini yang Bedakan Ciri Batuk karena Covid-19 dengan Batuk Biasa
Toys Kingdom dan MilkLife Wujudkan Senyum Anak Negeri untuk Anak-anak di Desa Mbuit
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Cecilia Ardisty |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR