Pertama, digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat.
Kedua, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.
Ketiga, adanya keterangan tenaga media yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
Adapun masih dalam surat keputusan yang sama dijelaskan, yang dimaksud kondisi al-dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia.
Sedangkan yang dimaksud kondisi al-hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
BACA JUGA: Setelah Diet Keto, Kini Hadir Flu Keto. Yuk Kenali Gejalanya
Dengan begitu, Afirianto menyakinkan bahwa penggunaan gelatin di dalam proses pembuatan vaksin dapat dikatakan halal.
“Jika kita membaca secara keseluruhan surat keputusan MUI, sebenarnya dapat dipastikan bahwa penggunaan gelatin dalam proses pembuatan vaksin itu dikatakan halal. Sebab belum ada bahan untuk menggantikan fungsi gelatin di dalam vaksin,” ujarnya menegaskan.
Tak hanya di Indonesia, para ahli ulama di negara lain pun telah memperbolehkan penggunaan bahan haram atau najis seperti gelatin dalam proses pembuatan vaksin.
Sebab mereka menganut kaidah istihalal, yaitu patokannya bukanlah pada benda asalnya melainkan pada sifatnya yang terkandung pada benda tersebut saat itu.
“Ulama timur tengah menggunakan kaidah istihalah atau transformasi, yaitu ketika gelatin dari babi digunakan sebagai stabilizer yang memiliki manfaat dan sudah berubah bentuk total. Sehingga dapat menjadi tidak haram.
Hal ini sama seperti perubahan khamr atau alkohol menjadi cuka untuk masakan,” jelas Arifianto.
BACA JUGA: Waspada, Menurut Penelitian Perabot Ini Dapat Sebabkan Kanker
Serunya Kegiatan Peluncuran SoKlin Liquid Nature French Lilac di Rumah Atsiri Indonesia
Penulis | : | Fadhila Auliya Widiaputri |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR