Nakita.id – Belakangan ini, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kasus istri yang dituntut satu tahun penjara akibat memarahi suaminya mabuk saat pulang ke rumah.
Karena aksinya tersebut, Valencya dituduh melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada suaminya.
Namun, banyak masyarakat yang menilai bahwa penyidikan dari kasus tersebut sangatlah janggal.
Hal tersebut pula yang membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ikut turun tangan menangani kasus Valencya dan suaminya.
Pihak Kementerian PPPA mengaku sangat prihatin dengan kasus yang menimpa Valencya saat ini.
Menurut Kementerian PPPA, dalam pemeriksaan, keterangan Valencya tidak didengar sama sekali.
Bahkan, saksi-saksi dari pihak Valencya pun juga tidak jadi pertimbangan hakim dan jaksa saat itu.
“Kami cukup prihatin dengan kasus ini, karena alat bukti yang dipakai tidak digunakan dengan benar, keterangan pelaku tidak didengar, dan saksi-saksi yang ada juga tidak diindahkan dalam pemeriksaan,” ungkap Margareth Robin Korwa, SH, MH, Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdadayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam wawancara eksklusif dengan Nakita.id, Senin (22/11/2021).
Margareth juga menjelaskan, sebelumnya kekerasan dalam rumah tangga memang menjadi urusan pribadi.
Namun, semenjak ada Undang-Undang Dasar nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, sudah dianggap sebagai urusan negara juga.
Margareth juga mengungkapkan, kasus yang menimpa Valencya sendiri mengalami legal error.
“Analisa sebab akibat dari kasus yang dialami oleh ibu Valencya khususnya di dalam putusan pengadilan, menurut kami terjadi legal error. Karena hukuman yang diberikan tersebut harus terbukti secara sah berdasarkan keterangan saksi ahli, atau visum et Repertum Psikiatrikum, sebagaimana yang didelegasikan di dalam pasal 7 undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,” bongkar Margareth.
Dalam Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tahun 2004 Pasal 7 nomor 23 disebutkan, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa kepercayaan diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya atau penderitaan.
Margareth sendiri mempertanyakan apakah suami Valencya benar-benar mengalami psikis berat seperti yang tertera pada Undang-undang tersebut.
Karena dalam persidangan sendiri, sang suami datang dalam keadaan sehat.
“Apakah unsur pidana psikis berat ini terpenuhi? Padahal, di dalam persidangan itu suaminya juga hadir, karena kasus ini sudah kami tindak lanjuti per tanggal 14 November 2021 setelah putusan tersebut diberikan kepada ibu Valencya,” tambah Margareth.
Margareth juga membongkar, alasan Valencya memarahi suaminya bukan hanya karena mabuk.
Namun, juga karena sang suami sudah meninggalkan rumah selama 7 bulan, sehingga Valencya harus bekerja mencari nafkah.
Selain itu, ada juga tagihan sebesar Rp180 Juta yang membuat Valencya kaget.
“Pasti ada sebab akibat kenapa suaminya dimarahi dengan kata-kata yang tidak pantas, sebabnya itu ada tagihan sebesar 180 juta, dan pelaku juga sudah meninggalkan istri selama 7 bulan,” Tutup Margareth.
National Geographic Indonesia: Dua Dekade Kisah Pelestarian Alam dan Budaya Nusantara
Penulis | : | Shinta Dwi Ayu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR