“Kami cukup prihatin dengan kasus ini, karena alat bukti yang dipakai tidak digunakan dengan benar, keterangan pelaku tidak didengar, dan saksi-saksi yang ada juga tidak diindahkan dalam pemeriksaan,” ungkap Margareth Robin Korwa, SH, MH, Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdadayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam wawancara eksklusif dengan Nakita.id, Senin (22/11/2021).
Margareth juga menjelaskan, sebelumnya kekerasan dalam rumah tangga memang menjadi urusan pribadi.
Namun, semenjak ada Undang-Undang Dasar nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, sudah dianggap sebagai urusan negara juga.
Margareth juga mengungkapkan, kasus yang menimpa Valencya sendiri mengalami legal error.
“Analisa sebab akibat dari kasus yang dialami oleh ibu Valencya khususnya di dalam putusan pengadilan, menurut kami terjadi legal error. Karena hukuman yang diberikan tersebut harus terbukti secara sah berdasarkan keterangan saksi ahli, atau visum et Repertum Psikiatrikum, sebagaimana yang didelegasikan di dalam pasal 7 undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,” bongkar Margareth.
Penulis | : | Shinta Dwi Ayu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR