“Berdasarkan pasal 1 dari deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993, disana disebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibatkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di ranah hukum, maupun di ranah pribadi atau di dalam rumah tangga,” sambung Margareth.
Dari kasus Valencya tersebut, bisa menjadi catatan bahwa perempuan dan laki-laki meski berbeda, tetapi harus diperlakukan sama termasuk di hadapan hukum.
“Sehingga, ini benar-benar harus menjadi catatan penting bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda, tetapi tidak harus dibeda-bedakan. Bukan berarti budaya patriaki itu sering melegalkan kekerasan terhadap perempuan, sehingga perempuan di dalam proses hukum juga bisa diperlakukan tidak setara, karena ini melanggar aturan hukum yang berlaku,” tutup Margareth.
Penulis | : | Shinta Dwi Ayu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR