Nakita.id – Kasus yang menimpa seorang wanita bernama Valencya masih terus bergulir.
Awalnya, Valencya dijatuhkan tuntutan 1 tahun penjara karena diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada suaminya.
Valencya sendiri mengaku sangat kecewa dengan tuntutan yang ia terima.
Banyak juga masyarakat yang merasa bahwa ada yang janggal pada penyidikan kasus yang menimpa Valencya tersebut.
Hal tersebut membuat salah satu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) Rieke Diah Pitaloka turun tangan.
Rieke meminta dukungan pada pengikutnya di Instagram untuk Valencya.
Begitu juga dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang sudah menindaklanjuti kasus tersebut sejak 14 November 2021 lalu.
Lantas, jika dilihat dari kasus yang menimpa Valencya apakah perempuan sudah diberlakukan setara di hadapan hukum?
Terkait hal tersebut, Kementerian PPPA pun memberikan tanggapannya.
Margareth Robin Korwa, SH, MH, Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menjelaskan di dalam Undang-undang Dasar 1945 dan juga Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM), sudah tertera jelas bahwa baik perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama di muka hukum.
“Kalau berbicara setara atau tidak setara, kita lihat apa yang didelegasikan di dalam Undang-undang dasar 1945, Undang-undang HAM bahwa semua orang itu harus memiliki hak yang sama di muka hukum untuk diperlakukan dengan baik,” kata Margareth dalam wawancara eksklusif bersama Nakita.id, Senin (22/11/2021).
Margareth juga menjelaskan, berdasarkan pasal 1 dari deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993 tertera jelas bahwa yang termasuk kekerasan terhadap perempuan adalah yang mengakibatkan kesengsaraan baik secara fisik, psikologi, dan seksual, adanya ancaman, dan perampasan kemerdekaan baik yang terjadi di ranah hukum, pribadi, ataupun rumah tangga.
“Berdasarkan pasal 1 dari deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993, disana disebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibatkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di ranah hukum, maupun di ranah pribadi atau di dalam rumah tangga,” sambung Margareth.
Dari kasus Valencya tersebut, bisa menjadi catatan bahwa perempuan dan laki-laki meski berbeda, tetapi harus diperlakukan sama termasuk di hadapan hukum.
“Sehingga, ini benar-benar harus menjadi catatan penting bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda, tetapi tidak harus dibeda-bedakan. Bukan berarti budaya patriaki itu sering melegalkan kekerasan terhadap perempuan, sehingga perempuan di dalam proses hukum juga bisa diperlakukan tidak setara, karena ini melanggar aturan hukum yang berlaku,” tutup Margareth.
For the Greater Good, For Life: Komitmen ParagonCorp Berikan Dampak Bermakna, Demi Masa Depan yang Lebih Baik Bagi Generasi Mendatang
Penulis | : | Shinta Dwi Ayu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR