Nakita.id - Belakangan ini, kasus KDRT semakin marak terjadi.
Bahkan, di Indonesia sendiri, kasusnya kian meningkat.
KDRT bisa saja terjadi baik dilakukan dari kalangan figur publik maupun masyarakat biasa.
Seperti kasus KDRT yang terjadi baru-baru ini di Cianjur, Jawa Barat.
Kasus kekerasan ini sedang hangat diperbincangkan lantaran pelaku merupakan warga negara asing yang berinisial AL (29), sedangkan korban adalah istrinya sendiri berinisial S (21).
Sang istri telah dinyatakan tewas karena diduga pelaku menyiramkan air keras pada tubuh korban.
Pelaku diduga nekat melakukan tindakan kekerasan tersebut lantaran cemburu.
Kasus KDRT yang terjadi di Cianjur ini pun menjadi salah satu contoh jika perempuan kerap menjadi korbannya.
Ya, perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan atas kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yang banyak dilakukan oleh pihak laki-laki.
KDRT dapat terjadi dan memengaruhi kondisi fisik maupun psikologis para korbannya.
Sayangnya, banyak masyarakat yang belum tersadarkan bahwa tindakan KDRT ini banyak ragamnya.
Dalam wawancara ekslusif bersama Nakita.id, Selasa (24/11/2021), Ayoe Soetomo, M.Psi., Psikolog, Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga di TigaGenerasi menjelaskan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang di Indonesia, jenis KDRT dibagi menjadi 4 jenis.
"Menelantarkan rumah tangga termasuk KDRT. Jika merujuk kepada Undang-undang, kekerasan ada 4, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga," ungkap Ayoe.
Ya, KDRT tidak hanya merusak fisik yang mengakibatkan korban mengalami luka-luka yang cukup serius.
Bahkan, kekerasan psikis juga bisa termasuk ke dalam KRDT yang mengakibatkan korban merasa takut, hilang rasa percaya diri, serta timbulnya rasa tidak berdaya.
Meski sudah menikah, tak jarang kekerasan pun bisa terjadi. Biasanya pelaku memaksa berhubungan seksual, sehingga timbulnya luka dan cedera pada korban, inilah yang dinamakan kekerasan seksual.
Masih ada sebagian masyarakat yang kurang memahami jika penelantaran rumah tangga juga masuk dalam jenis KDRT.
Dalam hal ini, pelaku secara sengaja menelantarkan keluarganya, padahal ia memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga dan merawat keluarganya.
"Yang rusak tidak hanya fisiknya, tetapi jauh lebih dalam dari itu. Kepercayaan diri bisa hilang, perasaan tidak berdaya ada. Karena biasanya, sebelum memasuki kekerasan fisik, tetapi juga diiringi kekerasan verbal, finansial yang membuat korban dikuasi oleh pasangan, sehingga tidak bisa melakukan apa-apa," sambungnya.
Tindakan KDRT tentu mengisahkan pilu yang mendalam bagi siapapun yang menjadi korbannya.
Rasanya jika kita berkaca sebagai korban tentu akan merasa sangat sulit untuk bisa sembuh seperti sedia kala.
Ayoe menuturkan jika ada beberapa terapi khusus yang bisa dijalani oleh para korban KDRT.
Namun tentu saja, pemulihan ini butuh waktu yang cukup panjang agar korban bisa siap menjalani kehidupan seperti sebelum KDRT terjadi.
Terapi juga harus didukung oleh lingkungan terdekat korban seperti keluarga, sahabat, atau anak agar pemulihan dapat berjalan optimal.
"Bisa ada beberapa terapi walaupun membutuhkan waktu yang panjang dan tentunya membutuhkan dukungan yang besar dari support system utama, entah itu anak, sahabat, orangtua, sehingga membantu korban memulihkan itu semua," pungkas Ayoe.
Dorong Bapak Lebih Aktif dalam Pengasuhan, Sekolah Cikal Gelar Acara 'Main Sama Bapak' Bersama Keluarga Kita dan WWF Indonesia
Penulis | : | Ruby Rachmadina |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR