Nakita.id – Mengajarkan anak laki-laki untuk kuat sejak dini memang memiliki tujuan yang baik untuk anak
Sejak kecil, banyak anak laki-laki yang diajarkan untuk menjadi pria yang tangguh dan kuat.
Mereka kemudian memandang aktivitas “rumahan” seperti memasak dan menyapu hanya patut dilakukan perempuan.
Anggapan yang lalu kepleset menjadi perilaku menonjolkan kekerasan ini merupakan contoh dari toxic masculinity.
Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai perilaku sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki.
Dalam toxic masculinity, definisi maskulinitas yang lekat sebagai sifat pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi.
Dan juga kata-kata larangan yang sering diberikan kepada anak laki-laki, seperti “Masa laki-laki nangis”, “Laki-laki kok lemah”, “Laki-laki masa enggak berantem” dan lain sebagainya.
Toxic masculinity bisa membuat seorang anak laki-laki merasa gagal ketika mereka tak bisa memenuhi tuntutan yang ekstrem tersebut.
Sehingga, hal ini tentu bisa memengaruhi kesehatan mental mereka.
Tidak hanya itu, toxic masculinity tentu juga akan memengaruhi relasi anak laki-laki dengan pasangannya kelak saat mereka dewasa.
Melansir dari Kompas, berikut beberapa toxic masculinity yang sebaiknya kita hentikan sejak dini.
1. Anak Laki-laki Tidak Boleh Nangis
Mengapa seorang anak laki-laki tidak boleh menangis?
Padahal emosi, sedih atau kekecewaan yang dikeluarkan dengan tangisan sepenuhnya adalah hal yang wajar.
Apakah Moms tahu, melarang anak menangis akan menghambat perkembangan emosional mereka, lho.
Anak-anak akan jadi kesulitan mengidentifikasi serta mengelola emosi mereka.
Bila hal seperti ini terus berlanjut, kesehatan mental mereka akan terganggu dan anak akan bingung dengan perasaan mereka.
2. Anak Laki-laki Tidak Boleh Takut
Sama seperti menangis, mengalami rasa takut merupakan hal dasar yang pasti dimiliki oleh semua orang.
Rasa takut tidak muncul pada gander tertentu saja, malah kita harus memiliki rasa takut agar kita lebih waspada dalam menghadapi berbagai hal.
Keberanian sering disalahpahami sebagai tidak pernah takut, itulah yang terjadi dalam pandangan maskulinitas yang toxic.
Padahal, sebetulnya pemberani bukanlah orang yang tak punya ketakutan, melainkan mereka yang mau mengambil tantangan penting di hidupnya dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
3. Laki-laki Harus Berkelahi
Toxic masculinity menempatkan laki-laki sebagai manusia yang harus agresif.
Bagi beberapa orang tua, hal ini merupakan hal yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki ketika bertengkar dan biasanya hanya mengatakan “namanya juga anak laki-laki”.
Padahal cara yang baik saat anak menyelesaikan masalah adalah dengan cara diplomatis, anak juga harus diajarkan cara membela diri sendiri dengan tepat.
Bila berkelahi terus dilanggengkan, mereka akan menjadi orang yang mungkin melakukan tindak kekerasan.
4. Laki-laki Harus Bisa Olahraga
Moms hal ini merupakan yang sering terjadi pada anak di sekolah.
Setiap anak memiliki bakat dan minat masing-masing.
Memaksakan anak yang minatnya ada di bidang sains, teknologi, seni, atau bahasa untuk menyukai bidang olah raga sama saja membatasi anak untuk berkembang.
Hal ini akan membuat mereka tidak mengenal diri mereka sendiri dan tidak mampu mengoptimalkannya kemampuannya.
Moms dan Dads perlu memberi tahu anak bahwa menunjukan apa yang sedang mereka rasakan seperti marah, kecewa, bahagia bahkan menangis merupakan hal yang wajar.
Tidak suka berkelahi dan tidak suka olahraga juga merupakan hal yang wajar, karena semua orang memilki kemampuan dan batas diri yang berbeda-beda.
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Penulis | : | Debora Julianti |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR