Nakita.id – Penting untuk mengenali bagaimana gejala keputihan saat hamil yang dialami.
Dengan demikian, Moms bisa mengevaluasi apakah keputihan yang dialami termasuk dalam keputihan yang normal atau sebaliknya.
Tentu apabila dapat terdeteksi lebih dini, ini tidak hanya dapat melindungi kesehatan organ kewanitaan, tetapi juga kehamilan itu sendiri.
Perlu dipahami, bahwa keputihan merupakan mekanismes pertahanan dari lingkungan vagina untuk mencegah kuman-kuman patologis masuk sehingga menjadi sumber infeksi.
Bila Moms mendapati keputihan bening, tidak berbau, dan tidak menimbulkan rasa gatal, maka tidak perlu khawatir. Keputihan ini termasuk keputihan fisiologis yang normal.
Sementara itu, pada ibu hamil keputihan fisiologis disebabkan karena peningkatan hormon esterogen.
dr. Rudi Simanjuntak, Sp.OG, Obstetrician & Gynecologist di Bethsaida Hospital, mengatakan bahwa keputihan fisiologis karena hiperesterogen atau perubahan anatomi vagina dan serviks dapat dianggap normal jika berlangsung selama 1-2 minggu.
Namun, apabila sudah terjadi perubahan warna, gatal, berbau maka tidak perlu tunggu sampai dua minggu. Gejala seperti ini tanda kalau sudah terjadi infeksi jamur atau lainnya.
Apabila Moms sudah mengalami kondisi keputihan yang telah disebutkan di atas, maka perlu segala mendapatkan pengobatan.
“Tetapi, hati-hati jangan pula jangan overtreatment, pemberian obat-obatan pada kasus keputihan yang hamil muda. Kita kalau memberikan obat-obatan juga tolong diperhatikan supaya tidak terjadi kelainan daripada organ genital nantinya,” imbau dr. Rudi dalam wawancara eksklusif bersama Nakita Selasa, (7/6/2022).
Selain itu, dr. Rudi juga menekankan obat-obatan tertentu dapat sangat berisiko terutama pada trimester awal kehamilan.
“Dimana karena trimester awal itu adalah itu proses pembentukan organ-organ vital, jangan kita ikut membantu proses pembelahan selnya atau pembentukan organ-organ vitalnya itu malah terhambat oleh karena pemberian obat-obat yang toxic tadi,” terangnya.
Tidak hanya pengaruh dari penggunaan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan gaya hidup sehari-hari dapat berkontribusi pada keputihan.
Mulai dari kualitas air yang digunakan sehari-hari tidak bersih, mengubah kelembapan vagina dengan salah pemakaian celana dalam, pemakaian celana yang ketat, terlalu sering memakai pantyliner, hingga pemakaian wewangian pada organ intim.
“Dengan demikian, kita tidak sadar ternyata kita juga ikut membunuh kuman yang baiknya,” kata dr. Rudi.
Penggunaan antiseptik pada organ kewanitaan justru dapat mengubah lingkungan vagina yang mengakibatkan kuman berubah menjadi kuman patologis sehingga terjadilah keputihan patologis.
Keputihan patologis yang terjadi meski tidak hamil, sama bahayanya dengan keputihan saat hamil.
“Kalau infeksinya meningkat, sampailah namanya disebut serviksitis kalau dia kena infeksi di serviks. Lalu, naik lagi ke atas menjadi endometriosis, yang endometrium yang terinfeksi,” jelas dr. Rudi.
Ia menambahkan, infeksi semakin merujuk lagi menyebabkan ooforitis, hingga menuju bagian pelvis yang dikenal dengan penyakit PID (Pelvis Inflammatory Disease).
Keputihan patologis dapat merusak organ-organ vital wanita. Jangka panjangnya, wanita tersebut akan kesulitan untuk mendapatkan kehamilan.
Lain halnya, jika keputihan terjadi saat hamil, dr. Rudi menjelaskan, “Jadi, memang efeknya pada trimester awal itu bisa terjadi satu yang paling berbahaya itu adalah keguguran. Bisa pada trimester kedua bisa terjadi yang disebut juga lahir prematur. Yang berikutnya bisa terjadi kelainan urogenital,”.
Untuk itu, disarankan untuk betul-betul menjaga hygiene daerah intim masing-masing. Misalkan, cebok arahnya dari depan ke belakang, kemudian lebih sering ganti celana dalam, pakai bahan dari katun dan tidak terlalu ketat.
Misal, pakai pantyliner, ganti setiap 2-3 jam supaya kelembapan vagina tidak berlebihan. Selain itu, batasi pemakaian antiseptik untuk mencuci daerah kewanitaan supaya kuman tidak ikut mati.
Sebagai langkah pencegahan, dr. Rudi menyarankan untuk seluruh wanita atau bagi ibu yang hamil muda untuk menjaga kesehatan daerah intim, namun bukan dengan cara yang dapat membahayakan seperti penggunaan antiseptik dan lain-lain.
“Usahakan untuk melakukan pemeriksaan pap smear atau pemeriksaan HPV. Nah, kalau misalkan HPV negatif, boleh dilakukan dengan vaksinasi HPV. Bahwa pencegahan itu jauh lebih baik pencegahan primer. Kalau pencegahan primer itu dengan vaksinasi, kalau pencegahan sekunder dengan pap smear,” tutup dr. Rudi.
Penulis | : | Syifa Amalia |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR