Nakita.id - Cuti ibu hamil diusulkan bertambah menjadi 6 bulan, begini tanggapan psikolog.
Meski sedang mengandung, banyak ibu yang masih tetap semangat menjalani aktivitas sehari-harinya, termasuk bekerja.
Bagi ibu hamil yang bekerja, biasanya akan mendapat hak cuti hamil saat di trimester terakhir masa kehamilan.
Hak ini perlu diambil, agar ibu hamil dapat mempersiapkan seluruh perlengkapan bayi hingga menyiapkan kondisi kesehatan fisik dan mental untuk proses melahirkan.
Kebijakan cuti hamil di Indonesia bahkan sudah diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja, yang menyebutkan bahwa ibu hamil bisa mengajukan cuti hamil selama tiga bulan.
Namun, kini DPR RI mengusulkan agar aturan tersebut diubah dengan menambah masa cuti hamil menjadi enam bulan.
Melansir dari Kompas, DPR RI telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) untuk dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang.
Puan Maharani, selaku ketua DPR, mengklaim RUU ini dirancang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul.
Masa cuti melahirkan ini akan memberikan dampak bagi ibu untuk membangun secure attachment (ikatan keterikatan untuk memenuhi kebutuhan aman anak) dengan Si Kecil yang baru lahir.
Tapi, bagaimana caranya agar secure attachment bisa dilakukan secara efektif dilakukan ibu selama masa cuti hamil?
Dalam wawancara eksklusif yang dilakukan tim Nakita denga Psikolog Klinis, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si pada Rabu (15/6/2022), menyebutkan bahwa ibu hamil juga harus bisa bekerja sama dengan orang-orang sekitar.
"Untuk bisa mengembangkan secure attachment, ibu harus bekerja sama dengan orang-orang sekitar dalam mengasuh bayi, karena fase dalam hidupnya berubah," kata Anna Surti Ariani.
Ibu memang menjadi sosok utama saat mengurus buah hatinya.
Namun, bukan berarti ia bisa melakukan segalanya sendiri. Apalagi, ia memiliki dua peran, yaitu sebagai ibu dan istri.
Oleh karena itu, bantuan dari orang-orang sekitarnya sangat bermanfaat untuk membantunya mengurus keperluan rumah serta mengasuh bayi.
Sebab, apabila ada banyak orang yang membantunya, itu akan mempermudah ibu untuk membangun hubungannya dengan bayi.
"Hal itu juga bermanfaat untuk membangun relasinya dengan bayi. Selain itu, ibu juga bisa belajar bagaimana cara mengurus anaknya seorang diri," tutur psikolog yang akrab disapa Nina ini.
Ibu juga bisa meningkatkan secure attachment dengan mengajak buah hatinya berbicara.
"Bukan hanya dengan merawat, ibu juga bisa mengajaknya senyum, tatap-tatapan hingga mengajak ngobrol si bayi," jelasnya.
"Ketika bayinya merasa dirawat dan ada orang yang mengajaknya senyum, itu bisa menjadi bahan yang luar biasa untuk bahan secure attachment," imbuh Anna lagi.
Selain itu, cara lain agar ibu bisa meningkatkan secure attachment dengan bayi, yaitu pada saat proses menyusui.
Disebutkan psikolog Anna, proses menyusui bukan hanya sekadar memerah ASI untuk bayi.
Tapi, proses tersebut juga bermanfaat untuk melakukan skin to skin contact antara ibu dan bayi.
Meski pemerintah sedang mengajukan usaulan masa cuti menjadi enam bulan, Anna Surti Ariani berpendapat ada baiknya ditambah menjadi tujuh bulan.
"Jadi, sebetulnya diantara 6 sampai 7 bulan ada krisis yang lain untuk ibu dan bayi. Fase 6 bulan untuk MPASI dan 7 bulan untuk belajar duduk," tuturnya.
Ia mengusulkan hal ini agar ibu bisa hadir dan di fase-fase krusial yang biasanya terjadi pada anak di usia 6 bulan.
"Sebab, ibu juga membutuhkan fase-fase ini, agar bisa berinteraksi dengan baik dengan bayi. Karena secara psikologis anak 6 bulan juga ada banyak perkembangan yang membutuhkan sosok ibu di dalamnya," pungkas Anna.
Penulis | : | Geralda Talitha |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR