Kedua, anak tersebut pada dasarnya memang tak suka nasi. Alasannya bisa tak jelas karena menyangkut selera atau mungkin sedang bosan.
Toh, ketika dicoba makanan pengganti nasi seperti mi, roti, atau kentang, ia mau-mau saja. Jika demikian yang terjadi, orang tua dituntut lebih kreatif dalam menyajikan makanan untuk buah hatinya.
Coba, ingat-ingat, siapa tahu untuknya hanya disajikan makanan dengan lauk yang itu-itu saja dan rasanya pun itu-itu terus. Padahal anak usia batita yang sudah mengenal makanan padat, tentu sudah bisa memilih dan menentukan makanan yang disukainya.
Namun, karena dia belum bisa menjelaskan apa yang diinginkannya, akhirnya ia cuma bisa menolaknya, terkesan tak suka makan nasi, atau tampak sulit makannya.
Mengenai berlanjut tidaknya keengganan makan nasi sampai dewasa, hal itu sangat tergantung pada anak sendiri. Kalau alasannya bosan, maka penolakannya terhadap nasi hanya berifat temporer atau sementara. Suatu ketika, kalau bosannya hilang, ia pun akan kembali makan nasi.
Tapi, ada juga, lo, anak yang pada dasarnya tak suka makan nasi. Biarpun sudah diolah rasa dan bentuknya sedemikian rupa, dia tetap tak mau.
Nah, jika memang tidak suka, bisa saja ia tak makan nasi sampai dewasa atau bahkan seumur hidup.
Kalau memang demikian, ya, sudah, tak perlu terlalu dipermasalahkan lagi, karena perilaku anak yang tak mau makan nasi ini wajar saja. Tak perlu terlalu dirisaukan.
Selama sumber karbohidratnya diganti, maka tak ada masalah bila anak tak mau makan nasi. Asalkan, dia mau menyantapnya.
Cuma, pada umumnya orang Indonesia merasa belum makan kalau belum bertemu nasi. Padahal anak-anak di negara Barat, makanan pokoknya pun roti, kentang, atau makaroni saja, bukan nasi.
Begitu pun anak di belahan dunia lain, makanan pokoknya mi, jagung, sagu, umbi-umbian, dan lainnya. (Sumber: Tabloid Nakita)
Source | : | Tabloid Nakita |
Penulis | : | David Togatorop |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR