Pasalnya, suamilah yang merupakan bagian dari penderitaannya atau dialah ayah dari bayi yang akan dilahirkannya.
Makanya si istri pun ingin agar suami ikut berbagi penderitaanlah dengannya.
Nah, dengan suami hadir di sampingnya, setidaknya istri tak merasa menanggung penderitaan sendirian.
Selain itu, bukankah dalam agama pun dikatakan bahwa proses melahirkan adalah antara hidup dan mati, hingga sebaiknya suami ada di sampingnya.
Namun, dalam pendampingan itu, suami jangan hanya sebatas menemani, tapi harus mau diajak sharing.
Suami juga harus mau ikut merasakan kebahagiaan maupun “kesakitan” yang dirasakan istri.
Jangan malah menceritakan hal-hal yang sepatutnya tak usah diketahui si ibu, seperti temannya yang meninggal karena melahirkan atau tentang turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Suami harus memahami bahwa saat itu si ibu sedang tak nyaman. Bujuk dan beri pengertian padanya.
Misal, “Ya, saya tahu, kamu sedang merasa tak nyaman. Tapi, kalau kamu mengingat kembali latihan pernapasan saat senam hamil, jauh lebih meringankan.”
Jadi, pendamping/suami hanya bersifat membikin tenang, dalam arti, dia tak galau, tak gampang menyerah.
Tentu saja, dalam memberi ketenangan pada si ibu, pendamping/suami jangan menunjukkan rasa panik pula.
Source | : | Tabloid Nakita |
Penulis | : | Nita Febriani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR