Nakita.id - Hari Uang Nasional atau Hari Oeang Republik Indonesia (HORI) diperingati setiap 30 Oktober.
Tujuannya untuk memperingati terbitnya mata uang Oeang Republik Indonesia (ORI).
Bertepatan dengan momen ini, yuk beritahukan pada Si Kecil mengenai sejarah uang Indonesia.
Uang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari kita, namun seberapa jauh kita mengenal mata uang Indonesia.
Melansir dari Kompas, mata uang adalah satuan harga uang yang disetujui pemerintah dan rakyat dalam sebuah negara.
Setiap negara memiliki mata uangnya masing-masing, tak terkecuali Indonesia yakni mata uang rupiah.
Menurut Bank Indonesia, rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia.
Ketahui sejarah mata uang Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang.
Melansir dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, pada masa penjajahan Belanda masyarakat Indonesia menggunakan gulden, mata uang Belanda.
Kemudian tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia tapi uang gulden tetap digunakan bersamaan dengan uang militer atau gunpyo.
Saat Jepang kalah dan Indonesia telah merdeka, Belanda masih kembali ke Indonesia dengan membonceng sekutu.
Baca Juga: Sambut Hari Uang Nasional Republik Indonesia, Simak Seperti Apa Sejarah dan Peringatannya
Belanda menarik mata uang rupiah Jepang lalu menggantinya dengan uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Kemudian pada 2 Oktober 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pelarangan mengedarkan dan menggunakan uang NICA tersebut.
Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang yang sah, yaitu De Javasche Bank, DeJapansche Regering, Dai Nippon, dan Dai Nippon Teikoku Seibu.
Mata uang pertama yang diterbitkan pemerintah Indonesia adalah Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 1946.
Mata uang ORI dicetak setiap hari dari jam 7 pagi hingga jam 10 malam sejak Januari 1946.
Lokasi pencetakan mulanya di Jakarta tapi kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo.
Proses penerbitan mata uang Indonesia sangat panjang, pada penerbitan pertama tercantum tanggal emisi 17 Oktober 1945.
Sedangkan ORI pertama kali diedarkan pada 30 Oktober 1946, cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api.
Namun, persaingan antara uang NICA dengan uang ORI masih terus berlangsung hingga 1947.
Pasalnya, ORI sulit beredar ke wilayah Jawa Barat dan Sumatera karena beberapa wilayah Indonesia masih diduduki Belanda.
Kemudian tokoh-tokoh di daerah mengusulkan agar pemerintah mengizinkan tiap daerah mengeluarkan uang sendiri.
Pemerintah pun menyetujui adanya ORI daerah (ORIDA), sehingga pada masa itu terdapat 21 jenis mata uang dan 27 jenis ORIDA di Indonesia.
Jenis ORIDA tersebut berupa bon, Surat Tanda Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat.
ORI dan berbagai macam ORIDA hanya berlaku hingga 1 Januari 1950 dan dilanjutkan dengan penerbitan uang Republik Indonesia Serikat
Saat konferensi meja bundar tahun 1949, diadakan survei untuk mengetahui bagaimana respons masyarakat Indonesia terkait uang ORI dan NICA.
Survei membuktikan bahwa masyarakat memilih menggunakan ORI sebagai alat pembayaran yang sah.
Berdasarkan hasil survei tersebut, pemerintah pun menetapkan berlakunya mata uang Indonesia bersama, yaitu uang Republik Indonesia Serikat atau uang federal.
Mulai 27 Maret 1950 telah dilakukan penukaran ORI dan ORIDA dengan uang baru yang diterbitkan dan diedarkan oleh De Javasche Bank.
Masa edar uang kertas RIS tidak lama, yaitu hingga 17 Agustus 1950.
Pada 1953, BI didirikan mengganti De Javasche Bank, kemudian ada dua macam mata uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
Mata uang rupiah diterbitkan oleh pemerintah Indonesia (Kemenkeu) dan BI berupa uang kertas dan uang logam.
Pemerintah menerbitkan rupiah pecahan di bawah Rp 5 sedangkan BI menerbitkan uang kertas pecahan Rp 5 ke atas.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Sejarah Mata Uang Indonesia"
Apa Itu Silent Treatment? Kebiasaan Revand Narya yang Membuatnya Digugat Cerai Istri
Penulis | : | Kintan Nabila |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR