Nakita.id - Ada tanda orangtua toxic, inilah yang harus dihindari karena bisa berbahaya bagi masa depan anak.
Orangtua yang berperilaku toxic dalam hal pengasuhan anak. Para orangtua toxic ini melakukan toxic parenting yang merupakan penerapan pola pengasuhan anak yang buruk dan berakibat negatif terhadap sang anak baik secara mental maupun jasmani.
Para orangtua terkadang lupa bahwa anak berhak memiliki pilihan mereka sendiri dengan selalu menganggap bahwa mereka masih kecil dan belum mengerti.
Sehingga dalam pemikiran orangtua toxic selalu muncul keinginan untuk membatasi serta mengontrol apa saja yang dilakukan sang buah hati.
Bahkan hingga anak-anak beranjak remaja dan dewasa, seringkali orangtua toxic juga masih ingin ikut campur tentang urusan anak mereka, membuat anak tidak memiliki kebebasan berpendapat, menentukan pilihan dan melakukan apapun yang disukainya.
Sebagai orangtua sudah sewajarnya memiliki kekhawatiran terhadap anaknya, takut sang anak terluka dan sebagainya.
Namun, jika kekhawatiran sudah dirasa berlebihan hingga membuat anak tidak bebas bahkan stres maka itu menjadi perilaku toxic yang harus dihindari.
Kekhawatiran yang berlebihan seperti ini akan membuat orangtua tidak memercayai sang anak, sebab dia beranggapan bahwa pilihan terbaik adalah berasal dari orangtua dan bukan anaknya.
Hal tersebut memungkinkan menimbulkan kebencian, stres dan kekecewaan anak pada orangtuanya.
Parahnya lagi, perilaku ini dapat bertahan hingga anak mereka dewasa dan berkeluarga. Para orangtua toxic akhirnya dapat menjadi mertua yang juga toxic terhadap keluarga anaknya.
Apakah membentak anak diperlukan untuk menanamkan ketegasan?
Baca Juga: 6 Pola Asuh yang Tidak Boleh Dilakukan Orangtua Pada Anak, Bisa Berpengaruh Pada Masa Depannya
Tentu hal tersebut bukanlah perilaku yang tepat. Pada zaman dahulu, mungkin mengasuh anak secara tegas dengan cara membentak dan memarahi ketika mereka salah masih banyak ditemukan.
Meskipun ada yang berhasil dengan penerapan tersebut, ada juga yang gagal karena menyisakan luka batin pada diri sang anak.
Akan tetapi, jaman telah berubah tentunya hal tersebut tidak dapat diterapkan lagi untuk mengasuh anak saat ini.
Mengasuh anak dengan tegas merupakan pilihan setiap orangtua, namun tidak harus dengan cara membentak mereka.
Beberapa contoh sederhana seperti tidak lekas datang ketika dipanggil, tidak sengaja menumpahkan minuman, dan lainnya.
Hal tersebut tentunya sangat wajar terjadi pada anak-anak berusia dini. Alih-alih memahami sikap anak, mereka justru memarahi dan membentaknya.
Jika sang anak membuat kesalahan besar, orangtua boleh memperingatkan mereka dengan cara masing-masing.
Bicaralah baik-baik mengapa mereka melakukan kesalahan, jelaskan bahwa hal itu membuat Moms dan Dads tidak nyaman.
Mendidik anak memanglah membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, belum lagi jika sang anak sulit untuk diberitahu.
Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sering melakukan kesalahan besar. Namun kadang para orangtua toxic tidak pernah menyadari hal ini.
Mereka selalu menganggap masalah yang muncul disebabkan kesalahan dan kelalaian anak, hingga melabeli anak dengan kata negatif.
Baca Juga: Pola Asuh Anak yang Harus Diterapkan Oleh Para Single Mom Agar Parenting Tak Terasa Berat
Padahal sebenarnya anak merupakan cerminan dari orangtua dan lingkungan mereka.
Sebagai orangtua yang baik, seharusnya mereka tidak menyalahkan anak atau mengkritisi mereka habis-habisan atas ketidakmampuan anak dalam mengerjakan sesuatu dan saat anak berbuat kesalahan.
Melainkan memberi masukan dengan baik supaya dapat diterima dengan mudah.
Jika tujuan mengkritik adalah supaya anak paham dan melakukan introspeksi diri, maka persepsi tersebut merupakan kesalahan besar.
Masing-masing anak tidak dapat disamaratakan, sebab mereka memiliki kemampuan, daya tangkap, sikap dan tingkat kecerdasan yang berbeda.
Sebagai orangtua hendaknya jangan mengkritik, namun memberikan dukungan agar anak mengalami peningkatan.
Sebuah kritikan yang diterima anak hanya akan membuat mereka kebingungan.
Mereka akan merasa bahwa orangtuanya tidak pernah benar-benar memahami dan menghargai usaha mereka.
Mengasuh anak memang tidak mudah, sehingga membuat para orangtua sering menahan amarah terhadap tingkah sang anak.
Namun, orangtua perlu berhati-hati dalam meluapkan emosinya, jangan sampai ledakan emosi membuatmu menjadi orangtua toxic.
Para orangtua toxic ini cenderung tidak sabar dan mudah emosi terhadap perilaku anak-anak hingga melakukan kekerasan verbal demi menyalurkan amarahnya.
Baca Juga: Dampak Buruk Apabila Anak Tidak Diberikan Pendidikan Karakter dan Kepribadian Sejak Dini
Tidak hanya itu bahkan kata-kata kasar pun kerap terucap diantara rentetan emosi. Hal ini akan berakibat sangat buruk bagi anak-anak baik secara kesehatan mental dan fisik mereka.
Anak tidak dapat menyadari letak kesalahan mereka dan justru memiliki ketakutan besar terhadap orangtuanya karena tidak ingin dipukuli.
Berbagai alasan yang kerap dilantunkan para orangtua toxic dalam menekan, membatasi, mengkritik dan menyuruh-nyuruh anak adalah demi kebaikan mereka. Padahal sesungguhnya itu hanyalah sebuah alasan untuk memenuhi ego para orangtua toxic.
Misalnya, orangtua menekan anak mereka supaya belajar giat dan wajib masuk dalam sekolah favorit demi masa depan anak yang cerah. Padahal sebenarnya, itu merupakan ego orangtua toxic yang supaya dapat dibanggakan dalam lingkungan sosialnya.
Tanpa memikirkan kerja keras dan penderitaan anak yang telah mengorbankan waktunya untuk belajar terus menerus, tanpa sempat bersosialisasi dengan teman sebayanya. Padahal sebagai mahluk sosial, anak-anak juga membutuhkan interaksi diluar untuk perkembangan dirinya secara jasmani dan rohani.
Para orangtua toxic juga cenderung terlalu memikirkan kebutuhan dan kesenangan diri sendiri daripada anaknya.
Contohnya menunda membeli kebutuhan sang anak, sementara sang ayah sendiri tak sungkan mengeluarkan uang demi hobinya bermain sepeda.
Demi memuaskan kebahagiaan orangtua, anak dianggap wajib untuk melakukan ini-itu diluar kehendak mereka.
Tanpa memikirkan kebahagiaan sang anak sendiri, orangtua toxic cenderung membuat anak mereka bertanggung jawab untuk membalas budi orangtuanya.
Contohnya, orangtua kerap mengungkit-ungkit kerja keras mereka dalam membesarkan anak, menyinggung biaya yang dihabiskan selama ini untuk menyekolahkan anak mereka.
Tentunya anak-anak sudah paham hal tersebut, tanpa harus diminta mereka akan membalas budi orangtua. Menyinggung masalah seperti ini, hanya membuat orangtua seolah tidak ikhlas membesarkan anaknya.
Baca Juga: Ingin Kepribadian dan Karakter Anak Terbentuk dengan Baik? Coba Terapkan Pola Asuh Ini
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR