“Niki istiqomah (ngaji) saestu. Namine Febi, preman pasar Srengat (Ini istiqomah sungguh-sungguh. Namanya Febi, preman pasar Srengat),” tutur Gus Iqdam mengenalkan jamaahnya di depan guru-gurunya.
Di sebuah acara perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, Gus Iqdam juga memperkenalkan Febi sebagai pemuda dengan tubuh penuh tato.
Dengan gaya bercanda, ia mengistilahkan Febi sebagai ahli gambar yang tak memiliki kanvas. Sehingga tubuhnya yang digambar.
Setelah aktif ngaji di majelis, Febi bercita-cita menghapus tatonya.
Lain lagi cerita Agus Kotak. Sejak lulus kuliah hingga menikah, belum sekalipun beribadah Sholat Jumat. Namun sejak aktif di Majelis Sabilu Taubah, Agus mulai menunaikan Sholat Jumat. “Alhamdulillah sakmeniko sampun jumatan (Alhamdulillah sekarang sudah salat Jumat),” kata Gus Iqdam menceritakan perubahan Agus Kotak.
Febi dan Agus Kotak hanya dua contoh dari banyak jamaah majelis yang telah berubah lebih baik. Majelis Sabilu Taubah telah membawa pencerahan.
Terutama dalam hal benah-benah akhlak. Gus Iqdam menerapkan metode merangkul sekaligus nguwongke (memanusiakan) para jamaahnya.
Meski positif mendatangkan banyak jamaah yang ingin bertaubat, pendekatan ini juga menuai kontraversi pada sebagian kalangan.
Mereka menganggap menghadirkan musik dangdut apalagi dengan kehadiran biduanita, dianggap sudah melanggar syariat islam.
Penulis | : | Saeful Imam |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR