Selain itu, gejala dapat berlangsung lebih lama dari biasanya atau kembali lebih sering.
Melansir Kemenkes, penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan orang dengan HIV-AIDS (ODHIV).
Tatalaksana medis infeksi HIV adalah pengobatan ARV, yang bertujuan mengurangi laju penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian, memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV (ODHIV), memulihkan/memelihara fungsi kekebalan tubuh, menekan penggMomsan virus secara maksimal dan terus-menerus.
Saat ini, ada lebih dari 40 jenis obat antiretroviral yang telah disetujui untuk pengobatan HIV.
Seiring berjalannya waktu, terapi ARV modern kini telah berkembang ke titik dimana efek samping obat berhasil dikurangi dan tetap efektif untuk menekan perkembangan virus.
Antiretroviral (ARV) merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.
Sejauh ini obat ARV yang digunakan untuk pengobatan HIV di Indonesia sendiri ada 3 golongan utama,diantaranya :
1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), seperti: Zidovudin, Lamivudin, Abacavir, Tenofovir, Didanosine dan Emtricitabine.
2. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), seperti: Evafirenz, Nevirapin dan Rilpivirin.
3. PI (Protease Inhibitor), seperti : Lopinavir/Ritonavir.
Pada bulan Juli 2018 WHO telah merekomendasikan dolutegravir yang merupakan obat dari golongan kelas penghambat integrase atau Integrase Inhibitor (INIs) yang dapat digunakan untuk pengobatan HIV sebagai alternatif pada terapi yang menggunakan efavirenz.
Dengan demikian masuknya dolutegravir makin bertambahnya jenis golongan ARV yang digunakan khususnya di Indonesia.
Dolutegravir bekerja dengan menghambat integrase, enzim yang dibutuhkan oleh HIV untuk memasukkan virus ke dalam DNA dari sel T CD4 pejamu.
Saat HIV menulari sebuah sel dalam tubuh manusia DNA (kode genetik) HIV dipadukan dalam DNA sel induk. Pemaduan ini dibantu oleh enzim integrase.
Dolutegravir menghambat pekerjaan enzim ini, dengan akibat DNA HIV tidak dipadukan pada DNA sel induk. HIV menulari sel tersebut, tetapi tidak mampu menggMomskan diri.
Dengan pemberian dosis sebagai berikut:
1. 50mg sekali sehari untuk pasien dewasa dan remaja di atas usia 12 tahun dengan berat badan 40kg atau lebih, belum pernah menggunakan ARV sebelumnya atau sudah pernah menggunakan ARV lainnya selain penghambat integrase.
2. 50mg dua kali sehari untuk pasien yang sudah pernah menggunakan penghambat integrase sebelumnya dan pasien yang memiliki atau diduga memiliki resistensi terhadap penghambat integrase lainnya.
3. 50mg dua kali sehari untuk mereka yang menggunakan obat-obat berikut tanpa mempertimbangkan paparan terhadap penghambat integrase sebelumnya: efavirenz, rifampin, fosamprenavir/ritonavir, tipranavir/ritonavir.
Dolutegravir bekerja dengan menghambat enzim integrase sehingga tidak menyebabkan toksisitas pada manusia karena sel manusia tidak memilki enzim integrase.
Efek samping yang umum terjadi seperti sakit kepala, mual dan diare. Tetapi proporsi dengan reaksi parah hanya 1%. Jika dibandingkan dengan efavirenz dan rejimen berbasis golongan PI, dolutegravir jarang menyebabkan penghentian pengobatan karena efek samping.
Meskipun demikian dolutegravir masih dianggap memiliki reaksi efek samping yang berhubungan dengan neuropisikiatrik yang menjadi alasan dari penghentian pengobatan dengan menggunakan dolutegravir.
Baca Juga: Jangan Takut Mahal, Berikut Biaya Pemeriksaan Lab HIV di Puskesmas
ShopTokopedia dan Tasya Farasya Luncurkan Kampanye ‘Semua Jadi Syantik’, Rayakan Kecantikan yang Inklusif
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR