Nakita.id - Inilah ciri-ciri HIV pada wanita yang harus diwaspadai.
Jika mengalami salah satu atau banyak gejala yang sudah disebutkan, periksa ke dokter jika ingin mendapat pengobatannya. Karena, sekarang ada obat HIV di rumah sakit.
Melansir Healthline, berikut ini adalah beberapa gejala HIV pada wanita yang mungkin saja bisa terjadi:
Pada minggu-minggu awal setelah tertular HIV, tidak jarang orang tanpa menunjukkan gejala. Sementara, beberapa orang mungkin mengalami gejala mirip flu ringan. Ini termasuk:
- Demam
- Sakit kepala
- Kekurangan energi
- Kelenjar getah bening yang membengkak
- Ruam
Gejala ini sering kali dapat hilang dalam beberapa minggu. Dalam beberapa kasus, mungkin diperlukan waktu hingga 10 tahun untuk gejala yang lebih parah muncul.
Kebanyakan orang dengan HIV mengalami masalah kulit.
Baca Juga: Rincian Biaya Cek Lab HIV di Puskesmas Jakarta untuk Tes Kesehatan
Ruam adalah gejala umum HIV, dan berbagai jenis ruam kulit telah dikaitkan dengan kondisi tersebut.
Ruam kulit mungkin merupakan gejala HIV itu sendiri atau akibat dari infeksi atau kondisi yang membersamai.
Jika ruam muncul, sebaiknya minta dokter meninjau riwayat kesehatan Moms.
Dokter dapat menggunakan riwayat medis lengkap untuk menentukan tes diagnostik yang diperlukan.
Luka atau lesi juga bisa terbentuk di kulit mulut, alat kelamin, dan anus orang dengan HIV.
Namun, dengan pengobatan yang tepat, masalah kulit bisa menjadi tidak terlalu parah.
Kelenjar getah bening terletak di beberapa lokasi di tubuh manusia, termasuk leher, belakang kepala, ketiak, dan selangkangan.
Sebagai bagian dari sistem kekebalan, kelenjar getah bening menangkis infeksi dengan menyimpan sel kekebalan dan menyaring patogen.
Ketika HIV mulai menyebar, sistem kekebalan bekerja dengan sangat cepat.
Akibatnya, kelenjar getah bening bisa membesar. Kondisi ini sering kali menjadi salah satu tMoms pertama HIV.
Pada orang yang hidup dengan HIV, pembengkakan kelenjar bisa berlangsung selama beberapa bulan.
Baca Juga: Cek Informasi Rincian Biaya Tes HIV di Puskesmas dan Persyaratannya di Sini
HIV mempersulit sistem kekebalan untuk melawan kuman, sehingga infeksi oportunistik (IO) lebih mudah terjadi. Beberapa di antaranya termasuk:
- Pneumonia
- Tuberkulosis
- Kandidiasis oral atau vagina
Infeksi jamur (sejenis kandidiasis) dan infeksi bakteri mungkin lebih umum pada wanita HIV-positif ketimbang pada pria HIV-positif, serta lebih sulit untuk diobati.
Secara umum, orang dengan HIV juga lebih rentan terhadap infeksi pada area tubuh berikut:
- Kulit
- Mata
- Paru-paru
- Ginjal Saluran pencernaan
- Otak
Baca Juga: Lakukan Sebelum Terlambat, Pemeriksaan Deteksi HIV pada Ibu Hamil
HIV juga dapat mempersulit pengobatan penyakit umum seperti flu. Namun, mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) dan mencapai penekanan virus akan secara dramatis mengurangi risiko seseorang terkena infeksi oportunistik.
Tindakan penanganan lainnya, termasuk sering mencuci tangan untuk membantu mencegah beberapa penyakit ini dan komplikasinya.
Orang dengan HIV mungkin mengalami demam ringan dalam waktu lama. Suhu tubuh antara 37,7 derajat Celcius dan 38,2 derajat Celcius dianggap sebagai demam ringan. Tubuh mengalami demam jika ada yang tidak beres.
Tetapi penyebabnya memang tidak selalu jelas. Karena ini demam ringan, orang-orang yang tidak menyadari status HIV-positifnya sangat mungkin mengabaikan gejalanya.
Terkadang, keringat malam yang mengganggu tidur bisa menyertai demam.
Wanita dengan HIV dapat mengalami perubahan pada siklus menstruasinya. Di mana, menstruasi mereka mungkin lebih ringan atau lebih berat dari biasanya, atau mungkin tidak ada menstruasi sama sekali.
Wanita HIV-positif juga dilaporkan bisa mengalami gejala pramenstruasi yang lebih parah.
Bagi orang yang sudah menderita IMS atau penyakit menular seksual (PMS) lain, HIV dapat memperburuk gejala.
Misalnya, human papillomavirus (HPV) yang menyebabkan kutil kelamin, cenderung lebih aktif pada orang yang mengidap HIV. HIV juga dapat menyebabkan perjangkitan yang lebih sering dan lebih intens pada orang dengan herpes genital.
Tubuh pengidap HIV mungkin juga tidak merespons pengobatan herpes dengan baik.
Pelvic inflammatory disease (PID) atau penyakit radang panggul (PID) adalah infeksi pada rahim, saluran tuba, dan ovarium. PID pada perempuan HIV-positif mungkin lebih sulit diobati.
Selain itu, gejala dapat berlangsung lebih lama dari biasanya atau kembali lebih sering.
Melansir Kemenkes, penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan orang dengan HIV-AIDS (ODHIV).
Tatalaksana medis infeksi HIV adalah pengobatan ARV, yang bertujuan mengurangi laju penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian, memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV (ODHIV), memulihkan/memelihara fungsi kekebalan tubuh, menekan penggMomsan virus secara maksimal dan terus-menerus.
Saat ini, ada lebih dari 40 jenis obat antiretroviral yang telah disetujui untuk pengobatan HIV.
Seiring berjalannya waktu, terapi ARV modern kini telah berkembang ke titik dimana efek samping obat berhasil dikurangi dan tetap efektif untuk menekan perkembangan virus.
Antiretroviral (ARV) merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.
Sejauh ini obat ARV yang digunakan untuk pengobatan HIV di Indonesia sendiri ada 3 golongan utama,diantaranya :
1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), seperti: Zidovudin, Lamivudin, Abacavir, Tenofovir, Didanosine dan Emtricitabine.
2. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), seperti: Evafirenz, Nevirapin dan Rilpivirin.
3. PI (Protease Inhibitor), seperti : Lopinavir/Ritonavir.
Pada bulan Juli 2018 WHO telah merekomendasikan dolutegravir yang merupakan obat dari golongan kelas penghambat integrase atau Integrase Inhibitor (INIs) yang dapat digunakan untuk pengobatan HIV sebagai alternatif pada terapi yang menggunakan efavirenz.
Dengan demikian masuknya dolutegravir makin bertambahnya jenis golongan ARV yang digunakan khususnya di Indonesia.
Dolutegravir bekerja dengan menghambat integrase, enzim yang dibutuhkan oleh HIV untuk memasukkan virus ke dalam DNA dari sel T CD4 pejamu.
Saat HIV menulari sebuah sel dalam tubuh manusia DNA (kode genetik) HIV dipadukan dalam DNA sel induk. Pemaduan ini dibantu oleh enzim integrase.
Dolutegravir menghambat pekerjaan enzim ini, dengan akibat DNA HIV tidak dipadukan pada DNA sel induk. HIV menulari sel tersebut, tetapi tidak mampu menggMomskan diri.
Dengan pemberian dosis sebagai berikut:
1. 50mg sekali sehari untuk pasien dewasa dan remaja di atas usia 12 tahun dengan berat badan 40kg atau lebih, belum pernah menggunakan ARV sebelumnya atau sudah pernah menggunakan ARV lainnya selain penghambat integrase.
2. 50mg dua kali sehari untuk pasien yang sudah pernah menggunakan penghambat integrase sebelumnya dan pasien yang memiliki atau diduga memiliki resistensi terhadap penghambat integrase lainnya.
3. 50mg dua kali sehari untuk mereka yang menggunakan obat-obat berikut tanpa mempertimbangkan paparan terhadap penghambat integrase sebelumnya: efavirenz, rifampin, fosamprenavir/ritonavir, tipranavir/ritonavir.
Dolutegravir bekerja dengan menghambat enzim integrase sehingga tidak menyebabkan toksisitas pada manusia karena sel manusia tidak memilki enzim integrase.
Efek samping yang umum terjadi seperti sakit kepala, mual dan diare. Tetapi proporsi dengan reaksi parah hanya 1%. Jika dibandingkan dengan efavirenz dan rejimen berbasis golongan PI, dolutegravir jarang menyebabkan penghentian pengobatan karena efek samping.
Meskipun demikian dolutegravir masih dianggap memiliki reaksi efek samping yang berhubungan dengan neuropisikiatrik yang menjadi alasan dari penghentian pengobatan dengan menggunakan dolutegravir.
Baca Juga: Jangan Takut Mahal, Berikut Biaya Pemeriksaan Lab HIV di Puskesmas
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR